Gadis manis berusia tujuh belas tahun itu berlari menuju tempat tinggal ibunya, yang berjarak sekitar tiga ratus meter dari rumah yang ditinggalinya. Mukanya tertunduk dengan mata sembap memerah.
“Bunda, buka pintunya. Ini Kinan …,” seru gadis itu sambil mengetuk pintu, badannya setinggi seratus enam puluh dua sentimeter itu menyandar di tembok dekat pintu. Terdengar suara televisi yang menyala dari dalam rumah, meskipun dari luar tampak sepi.
Pintu terbuka dan menyembul sepotong wajah ayu dibalut kerudung biru tua. Tangan kanan memegang kacamata minus yang menghiasi indra penglihatannya. Dahinya tampak mengernyit saat menjumpai anak gadis kesayangannya sesenggukan bersandar di dinding rumah.
“Kinan!” serunya seraya merangkul gadis itu dan menuntunnya masuk ke dalam rumah. Hatinya bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada putrinya.
Dibelainya kepala Kinan yang menangis di pangkuan dengan kasih sayang.
“Kinan, Sayang, ada apa? Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada cemas. Perempuan itu tak dapat menyembunyikan rasa khawatirnya yang menggunung.
“Ayah jahat, Bun. Ayah tidak sayang pada Kinan…,” isaknya seraya membenamkan muka lebih dalam di pangkuan bundanya.
“Mungkin kamu hanya salah paham, Sayang. Ayahmu itu sangat menyayangimu,” hiburnya lembut membuat Kinan merasa lebih tenang.
Di antara isaknya gadis itu bercerita kalau ia baru saja dimarahi sang ayah, gara-gara menanyakan uang sekolah yang belum dibayar. Bukannya menjawab pertanyaan, tetapi malah naik pitam dan Kinan menjadi sasaran. Ditunjuk-tunjuk, disalahkan, dicaci, dan dilempar sandal. Ayahnya terus saja bicara, berteriak-teriak marah hingga menamparnya.
Tiba-tiba terdengar keriuhan di luar, disusul suara ketukan kasar di pintu. Suara yang tak asing di telinga Kinan dan Ratri, sang ayah yang baru saja diceritakan. Gadis itu memeluk ibunya erat seolah enggan lepas. Di matanya menyiratkan ketakutan yang dalam.
“Buka pintunya, Ratri! Suruh keluar anak gadismu yang tidak tahu sopan santun itu!” teriak lelaki itu di sela-sela ketukan pintu.
Ratri, perempuan yang dipanggil Bunda oleh Kinan bergegas berdiri menuju pintu menyambut sang ayah yang menyebut Kinan tidak tahu sopan santun. Hatinya meradang.
“Mana anakmu? Suruh keluar sekarang! Kurang ajar! Dia perlu diberi pelajaran biar tahu sopan santun!” serunya dengan sorot mata murka saat bertemu Ratri. Kemarahan seolah menumpuk di ubun-ubun minta ditumpahkan.
“Memangnya kenapa dengan anakku? Apa salah dia? Jangan asal menuduh, ya! Siapa yang tidak tahu sopan santun? Kamu atau anakku?” serang Ratri tidak mau kalah.
Lelaki berumur setengah abad yang rambutnya mulai memutih itu makin geram. Terdengar suara gemeretak giginya yang beradu.
“Ini semua gara-gara kamu yang tidak becus mendidik, Ratri! Ajari dia biar punya etika kepada orang tua!”
Ratri tersinggung bukan kepalang mendengar ucapan lelaki yang pernah menikahi dan ditinggalkannya itu. Namun, ia teringat pada buah hati mereka yang sekarang sedang bersembunyi di kamar. Diredamnya gejolak yang membara di dada demi Kinan.
“Mas, kamu ini kenapa, sih? Mengapa datang langsung marah-marah? Nggak enak didengar sama tetangga. Lagi pula nggak baik juga didengar dan dilihat Kinan. Coba dipikir baik-baik. Siapa yang tidak tahu sopan santun, kamu atau Kinan?” Ratri mencoba mengingatkan mantan suaminya itu agar bisa menahan diri.
Ayah Kinan itu tampak menghela napas dalam-dalam dan melengos. Ada rasa marah dan jengkel yang tertahan.
“Di mana Kinan? Suruh keluar sekarang. Dia harus pulang, sudah terlalu malam,” ucapnya dengan suara yang ditahan. Hatinya masih diselimuti emosi.
“Tidak. Malam ini biarkan Kinan tidur bersamaku. Dia boleh pulang jika kondisinya sudah membaik,” jawab Ratri tegas memandang tajam ke arah lelaki yang telah membuat hidupnya hampir luluh lantak.
Lelaki itu tidak menjawab sepatah kata pun. Ia tidak bisa berbuat apa-apa dengan keputusan Ratri. Seakan kalah dari medan perang, ditinggalkannya perempuan itu dengan langkah gontai di balik keremangan malam.
***
Sepanjang malam, Ratri hampir tak bisa memicingkan mata, memandangi anak gadisnya yang tidur dengan terisak. Ada rasa bersalah yang menyesakkan dadanya. Namun, harus bagaimana lagi? Dia betul-betul tidak bisa melanjutkan rumah tangganya.
Sesungguhnya, ia telah berusaha untuk bertahan demi Kinan, anak semata wayang mereka. Anak yang diharapkan dan ditunggu kehadirannya dengan sepenuh cinta. Akan tetapi, kenyataanlah yang membuat mimpi indah itu hancur berkeping-keping.
Lelaki yang dulu dicintainya itu telah berubah perangainya, setelah karirnya memuncak. Ratri merasa asing dan tidak mengenali suaminya lagi. Dia berubah menjadi arogan, sombong, kasar, dan jauh dari iman. Ratri mengakui bila sekarang ini harta suaminya berlimpah, seakan tidak habis untuk tujuh turunan. Namun, untuk apa semua itu bila tidak ada lagi kasih sayang?
Sudah berbagai cara dia mengupayakan agar suaminya kembali seperti dulu, tetapi yang diperolehnya hanya cacian, bahkan tamparan, pukulan, dan tendangan yang menyakitkan. Sepertinya lelaki itu telah lupa bahwa dulu ia telah melamar dan menyunting perempuan yang melahirkan anaknya dengan santun dan beradab.
Terlalu letih Ratri menanti. Tinggal Kinan, satu-satunya harapan dan kekuatan untuk terus berjalan dengan tegar.
Bandung, 26 September 2019