Maafkan aku, Ayah. Bukan aku membenci atau tidak menyukaimu. Sungguh, hati ini merasa bimbang karena terjebak pada sebuah kubangan perasaan yang aku sendiri tidak paham. Perasaan membingungkan yang selama ini membelenggu batin dan pikiran, sekaligus menghantuiku melangkah menjalani lakon kehidupan.
Aku tahu, engkau adalah ayah yang menyebabkan aku ada. Awal keberadaanku di dunia dan kehidupan yang aku jalani hingga sekarang. Ayah, yang di dalam tubuhku mengalir darahnya sebagai tanda garis nasab yang ditakdirkan Tuhan. Akan tetapi, mengapa ikatan batin ini terasa berjarak?
Selama hampir tiga puluh tahun aku bagaikan berada di tengah hutan belantara yang tak tahu arah dan tak punya kompas. Hanya dari matahari terbit dan tenggelam saja aku mampu menentukan ke mana arah yang kutuju. Selebihnya kegelapan semata yang kutemui.
“Fey, besok sepulang sekolah mampir ke rumahku, ya. Ayahku sudah pulang dari Bali. Aku dibelikan oleh-oleh mainan. Kita bisa bermain bersama,” ajak Rio teman sebangku waktu SMP dengan gembira di suatu ketika. Aku tidak segera menjawabnya karena linglung. Mendengar kata “ayah” membuatku merasa pusing dan mual ingin muntah.
Aku cepat-cepat berlari ke toilet untuk menetralisir keadaan dan berharap Rio tidak menangkap basah tingkahku, meskipun sesudah itu aku meluluskan ajakannya setelah minta izin kepada ibu lewat telepon.
Momen bermain bersama teman merupakan hal yang sangat tidak kusuka. Karena saat bermain itulah, ajang pamer “ayah” berlangsung. Satu demi satu, teman-teman akan membanggakan ayah mereka masing-masing dan berceloteh semua hal tentang dunia mereka bersama “ayah” yang membuat bahagia.
“Kemarin aku diajak jalan-jalan sama Ayah ke mal. Aku senang sekali karena Ayah membelikanku mobil-mobilan, yang sudah lama aku inginkan,” kata Rizal dengan bersemangat. Tampak jelas di raut mukanya kebahagiaan itu.
Temanku Latif yang berambut keriting juga tak mau kalah, “Lihat ini, mobil Tamiya yang kemarin aku ceritakan! Ini juga dibelikan ayahku,” sahutnya dengan antusias sambil menunjukkan benda itu di hadapanku dan semua teman.
Mendadak Rehan yang duduknya di sebelahku nyeletuk dan menanyakan perihal “ayah” kepadaku. Tentu saja aku tak bisa menghindari pertanyaan itu.
“Kamu bagaimana, Fey? Cerita, dong! Hanya kamu yang belum bercerita, lo. Kapan ayahmu pulang? Apakah kamu suka minta oleh-oleh mainan juga?” tanya Rehan menyenggol badanku dengan bahunya.
Untung Tuhan memberiku kekuatan yang luar biasa, hingga aku mampu menjawab pertanyaan mereka dengan baik. Jika tidak, entah apa yang bakal terjadi padaku. Meskipun sesudah itu aku lupa telah mengatakan apa pada mereka.
*
Aku teringat dulu ketika hujan tiba, pada suatu sore yang nahas. Pengalaman yang tak bisa kulupakan hingga kini. Saat itu, aku sedang menikmati bau harum tanah kering yang tersiram air langit dengan berhujan-hujan.
Tiba-tiba sesosok bayangan tinggi besar datang dengan menyeringai menyambar tanganku yang mungil dalam genggaman. Ditariknya lengan kecilku dengan kasar. Dia terlupa bahwa lengan itu milik seorang anak berusia enam tahun yang tenaganya jauh lebih lemah.
“Ampun, Ayah. Jangan kencang-kencang, sakiiit,” rintihku sambil menangis menahan nyeri yang sangat. Ayah menyeret badanku dengan menarik tangan dari jalan di depan rumah hingga teras. Aku tak bisa berbuat banyak selain hanya menangis dan berteriak minta ampun untuk disudahi tanpa bisa melawan.
“Ayo, masuk! Tidak boleh bermain hujan! Nanti sakit! Awas kalau diulangi lagi, ya, bisa mampus dihajar Ayah,” ancam Ayah yang membuatku menjadi takut dan trauma. Selang beberapa hari setelah itu, aku pun langsung jatuh sakit.
Ah, Ayah. Bayanganmu yang muncul selalu membuatku bergidik dan keluar keringat dingin. Rasanya begitu membebani hati manakala terkenang masa-masa kebersamaan itu. Adakah kenangan indah yang terukir di memoriku?
Setiap kali kucari kenangan demi kenangan yang tersisa, tak satu pun kutemukan cerita yang membuatku bisa tersenyum, apalagi tertawa. Tak ada, Ayah. Semuanya hanya tentang kisah sedih yang menyakitkan. Hingga suatu ketika ibu menitipkan pesan itu.
“Kamu tidak perlu menanyakan segala sesuatu tentang ayahmu, ya, Fey. Gembok saja ruang itu dan buanglah kuncinya ke dasar samudera kehidupan. Mulai sekarang kamu boleh tidak membahasnya lagi. Ayahmu sudah lama pergi melupakan kita keluarganya dan tidak akan kembali,” pesan ibu hampir setiap hari yang selalu terngiang di telinga. Pesan yang mengingatkanku untuk menganggap bahwa ayah telah tiada. Begitulah. Aku dan ibu sudah terbiasa hidup tanpa ayah.
Sejak saat itu pula, aku mencoba belajar berdamai dengan situasi buruk yang sangat tidak kusukai, yaitu semua hal tentang “ayah”. Aku mulai menyadari bahwa menghindari atau bersembunyi sekalipun aku tidak akan pernah berhasil, kecuali menghadapinya dengan lapang dada dan keikhlasan.
Akhirnya, aku memutuskan untuk belajar menerima tentang “ayah” apa pun bentuknya dan melawan ketidaknyamanan situasi setiap kali merasakan pusing dan mual. Kapan pun, di mana pun kata “ayah” muncul, dan saat efek negatif mulai menyerang, aku segera membuat tameng diri agar tidak larut dalam perasaan itu. Perlahan dan pasti, aku telah berhasil melakukannya dan mulai mengerti mengapa aku merasa jauh dan tak mengenalmu.
Maafkan aku, Ayah. Jika aku tak lagi mengenalimu saat berjumpa. Karena memang aku tidak tahu, apakah menginginkan bertemu denganmu atau tidak. Apakah merindukanmu atau tidak. Apakah aku salah?
Bandung, 11 Oktober 2019
***