Etika Amatusholiha
Siang itu Qudink menghampiri emaknya yang sedang berada di dapur.
“Mih, rambut Qudink, kok keriting amat, ya? Padahal rambut Mamih kagak.”
“Hmm … ,” Emak menjawab singkat sambil mengulek sambel.
“Turunan dari mana, Mih?” tanya Qudink penasaran.
“Babeh elu, lah. Masa iya tetangga, Dink!”
Qudink berjalan ke ruang tamu dan mengambil salah satu foto hitam putih yang terpajang di dinding lalu menghampiri emaknya lagi di dapur.
“Mih, ini foto papih, ya?” tunjuk Qudink pada sebuah wajah yang ada di foto itu kepada emaknya.
Emak melihat sepintas lalu melanjutkan mengulek sambel lagi, “Iye Dink, keren, ya, babeh, loe?”
Qudink mengamati lebih dekat laki-laki yang ada di foto itu, maklumlah Ia tidak pernah melihat wajah babehnya sejak kecil karena babehnya sudah wafat ketika emaknya mengandung Qudink delapan bulan.
“Loe ngapain ngeliatnya ampe kayak gitu, Dink?”
“Ini beneran, papih?” tanya Qudink kurang yakin.
“Iye, masa emak lupa ama suami sendiri?” Emak rada emosi mendengar pertanyaan Qudink. “Eh, maksud pertanyaan loe apa, sih, Dink?”
“Hehehe … Qudink kira, ini Engkong Akbar muda, Mih. Abis, potonya item putih sih, jadul banget.”
“Uh, dasar!” kata Emak sambil menjitak kepala Qudink. “Nih, sambel udah jadi, makan yuk?”
“Pake apaan, Mih?”
“Sambel, telur dadar, ama mie goreng.”
“Yah, mi lagi. Makin keriting aje rambut Qudink, Mih. Hahaha.”
Qudink makan dengan lahapnya. Selesai makan, ia dan emak duduk-duduk di kursi ruang tamu. Qudink bertanya lagi pada emaknya, soal rambut.
“Mih, di foto itu, papih nggak keriting. Trus siapa dong yang keriting?”
“Ya, babeh loe, Dink.”
“Kagak, tuh!” Qudink menunjuk kembali foto babehnya di dinding ruang tamu kepada emaknya.
Emak tersenyum kepada Qudink. “Percayalah Dink, rambut babeh loe keriting. Di foto-foto itu rambutnya rapi banget karena selalu di potong tipis dan diminyakin, jadi klimis nggak kaya rambut loe. Nyisir aja ogah. Tuh berantakan terus.” Emak memberi penjelasan panjang lebar dan Qudink tersenyum.
Qudink penasaran dimana letak persamaan rambutnya dengan babehnya. Salah satu cara membuktikannya adalah memotong rambutnya seperti potongan rambut babehnya di foto.
Sorenya, Qudink pamit pada emaknya dengan membawa satu foto babehnya. Ia berniat pergi ke salon Khaterine milik emaknya Arie. Sesampainya di salon, Ia langsung nyelonong masuk dan duduk di kursi.
Tante Katerine yang sedang asik makan siomay di kursi depan bertanya, “Mo ngapain, Dink? tumben amat loe langsung duduk di situ. Biasanya depan pager aja, manggil Arie maen bola.”
“He … kali ini mau minta tolong ama tante, potongin rambut Qudink kayak gini, Te!”
Qudink menunjukkan foto yang dibawanya. Tante Khaterin melihatnya dengan seksama.
“Yah, Qudink. Potongan kayak gini mah udah jadoel. Tante potongin yang lagi trend anak muda sekarang, ya?” tawar Tante setelah melihat foto itu.
“Terserah Tante, deh, asal nggak keriting lagi,” sahut Qudink.
Tante Khaterine pamit menaruh piring bekas makan siomay ke dapur dan menyiapkan peralatan memotong rambutnya. Saking lamanya, Qudink tertidur di kursi.
Tante Khaterine kembali dengan membawa pisau cukur elektrik dan sisir. Ia melihat Qudink sudah siap, maka dengan lihai, tangannya mulai memotong sedikit demi sedikit rambut Qudink yang keriting. Tante Khaterine mengerjakannya dari belakang punggung Qudink.
Ketika Tante Khaterin sedang asik memotong rambut bagian depan, ia dikagetkan gerakan kedua tangan Qudink yang direntangkan dan Qudinkpun menguap, “ Hoaaaam ….”
“Ah, Qudink ngagetin ajah!” Tante Khaterin memukul punggung Qudink dengan tangan kirinya. Sontak Qudink terbangun dan melompat dari kursinya.
Sreeet …
Suara pisau cukur membabat habis rambut Qudink bagian tengan, dari depan lurus ke belakang. Rambut Qudink nampak lucu sekarang, karena bagian tengah kepala gundul sedangkan kedua sisi kepalanya masih gondrong dengan rambut keritingnya.
“Hahahaha … ,” tawa Tante terpingkal-pingkal melihat gaya rambut Qudink yang lucu.
Qudink melihat cermin di depannya. Ia bingung dengan perubahan yang terjadi pada rambutnya. Ia protes pada Tante Khaterine karena telah memotong rambut tidak sesuai yang diminta. Tante Khaterine pun protes karena Qudink telah melakukan gerakan tiba-tiba yang membuat ia tidak fokus.
Terjadi sedikit perdebatan, akhirnya diambil jalan tengah, yaitu Tante Khaterin bersedia memotong rambut Qudink gratis tanpa bayar, karena kesalahannya. Tetapi, ia akan memotongnya disesuaikan dengan tingkat kependekan potongan yang sudah terjadi.
Dengan berat hati, Qudink pun menyetujuinya. Lima menit kemudian pekerjaan Tante Khaterine selesai. Qudink melihat cermin dengan sedih karena hasil yang diharapkan sangat berbeda jauh dari kenyataan.
Qudink mengucapkan terima kaksih pada Tante Khaterine lalu pamit pulang. Walau kali ini gratis, tetep saja Qudink merasa sebal dengan hasilnya. Ia pun kembali ke rumah dengan kepala gundul.
“Nasib … nasib …. “