Arga baru saja hendak merebahkan diri sepulang dari kantor, saat bel pintu apartemennya berbunyi. Begitu dibuka tampak sahabat lamanya.
“Rendy!” serunya gembira sambil meninju pelan lengan lelaki itu. Sementara yang ditinju hanya tersenyum kecil menanggapi sikap Arga.
“Ke mana aja selama ini, Bro?” tanya Arga penasaran karena tiga tahun ini hilang kontak.
“Ke sana ke mari, nyari bekal buat calon istri,” ujar Rendy.
“Weiiss … cakeep.” Arga mengacungkan dua jempol memuji temannya.
“Kamu sendiri, masih betah jadi jomlo?” goda Rendy.
“Belum ada yang mau nih!” Arga memasang tampang memelas. Rendy tergelak; melihat ekspresi kawannya itu.
Mendadak tawa Rendy terhenti lalu menatap Arga dengan serius.
Entah kenapa Arga merasa aneh dengan tatapan Rendy kali ini.
“Ga, aku mau minta tolong sama kamu,” kata Rendy setelah terdiam.
“Minta tolong apa? Kalau aku bisa insya Allah aku akan bantu.” Kali ini Arga pun memasang mimik serius.
“Kamu masih ingat sama Kinasih?” Rendy balik bertanya.
“Kinasih teman satu SMA dulu? Yang suka kamu godain sampai nangis saking kesalnya?”
“Betul, Kinasih yang itu,” sahut Rendy membenarkan.
“Ada apa dengan dia? Jangan-jangan calon istri yang kau maksud tadi itu adalah Kinasih?” tebak Arga sambil memandang wajah sahabatnya mencari jawaban. Yang ditatap kembali hanya tersenyum.
“Tebakanmu dari dulu suka tepat, Ga,” ujar Rendy mengakui keunggulan temannya yang satu ini.
“Serius?” tanya Arga tak percaya.
“Dua rius,” sahut Rendy sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya membentuk angka dua.
“Wah, selamat dong kalau begitu! Ikut senang mendengarnya,” ucap Arga tulus.
“Makasih, Ga. Balik ke soal tadi, bisa bantu aku, kan?”
“Bisa bangetlah. Apa yang bisa aku bantu?” tanya Arga pada lelaki itu.
“Aku janji mau memberi ini untuk Kinasih, tapi belum sempat juga, aku minta kamu yang memberikannya. Bisa?” ujar Rendy sambil menyerahkan kotak berlapis beludru merah ke tangan Arga.
“Mengapa tidak kamu sendiri yang mengantarkan hadiah itu, Ren?” tanya Arga sambil mengernyitkan kening.
“Aku tak bisa menemui dia, Ga,” jawab Rendy sambil menatap Arga sahabatnya.
“Apa kamu pernah berbuat salah sama Kinasih?” cecar Arga masih tak habis pikir dengan ucapan temannya.
“Satu-satunya kesalahanku, belum sempat memberikan hadiah ini padanya.”
“Okelah kalau begitu, aku akan membantumu memberikan ini pada Kinasih.” Arga berjanji pada temannya itu.
“Terima kasih, Ga.”
“Don’t mention it!” balas Arga.
***
Setelah kepergian Rendy dari apartemen yang dihuninya, Arga pun bersiap-siap hendak ke rumah Kinasih. Makin cepat amanatnya tertunaikan makin baik, pikirnya.
Pintu rumah dibukakan Kinasih, setelah Arga memencet bel tiga kali.
“Arga?” Si gadis terkejut melihat Arga ada di hadapannya.
“Hai, Kin. Aku enggak lama-lama nih!” Arga langsung to the point.
“Mau menyampaikan ini saja. Ada titipan dari Rendy,” lanjut Arga.
“A-apa itu, Ga?”
“Ini, sepertinya barang berharga. Dia bilang tidak sempat memberikannya sama kamu.” Arga merogoh tas, mengeluarkan kotak yang langsung diserahkan pada Kinasih.
“Wah kamu diam-diam ternyata mau married sama Rendy, ya.” Kali ini dia menggoda Kinasih.
“Ka-kapan kamu ketemu dia?” tanya Kinasih
“Barusan … aku langsung ke sini setelah bertemu, tapi aku lupa nanya dia tinggal di …. Hei! Kenapa wajahmu pucat, Kin?” Arga terkejut melihat Kinasih yang terduduk lemas dengan muka pucat pasi.
“Ga … Ren-Rendy … Rendy sudah meninggal tiga hari yang lalu,” bisik Kinasih, tetapi cukup jelas di telinga Arga.
Tangerang, 22 Januari 2019