Rena memantapkan hati memilih tema rustic outdoor, setelah terpesona dengan contoh dekorasi pernikahan di hadapannya. Perempuan yang mengenakan blus model cold shoulder dan bawahan pencil skirt itu melangkah bersisian dengan Bella, sang wedding planner. Mereka membicarakan agenda fitting gaun pengantin weekend depan.
Di sela pembicaraan, mendadak Rena berhenti melangkah. Tubuh semampai itu seketika gemetar dan berkeringat, kemudian terduduk di lantai. Dadanya terasa nyeri dan napasnya mulai sesak.
Bella yang tahu penyebab perubahan sikap kliennya, dengan sigap mengusir dua wanita pekerja yang tengah merangkai bunga sambil berkata, “Sudah kubilang, jangan keluarkan gunting ketika Nona Rena berkunjung!”
Mereka bergegas meminta maaf. Sementara itu, Bella mengulurkan gelas berisi air kepada Rena yang telah mengambil obat penenang dari dalam tas branded-nya. Tangan wanita itu masih gemetar.
Setelah keadaannya mulai tenang, Rena segera meninggalkan gedung dan berpisah dengan Bella. Ketika sedang menunggu taksi yang dia pesan, tiba-tiba seorang wanita paruh baya menghampirinya. Tanpa basa-basi, Rena langsung bertanya dengan ketus. “Kenapa Bibi ke sini? Bibi membuntutiku, ya?”
“Iya,” jawab Siti dengan kasar, “Setelah kamu sukses, Bibi jadi sulit menemuimu. Bukankah sebelum menikah, sudah seharusnya kamu berkunjung dan meminta restu kepada ibumu? Karena seberapa buruknya dia di matamu, Inah tetap ibumu.” Wanita bergamis cokelat itu menatap Rena dengan mata mulai berkaca-kaca.
“Oke! Aku akan pulang kampung untuk mengunjunginya. Jadi, berhenti mengikutiku!” bentak Rena. Kemudian perempuan itu masuk ke dalam taksi online yang baru tiba dan meninggalkan bibinya.
Seminggu kemudian, Rena duduk menunggu di depan kaca. Beberapa menit kemudian, Inah muncul bersama seorang polisi. Wanita yang mengenakan baju tahanan itu menyunggingkan bibir dan menatap haru putri tunggal yang sudah delapan tahun tidak dijumpainya.
Rena hanya memandang datar. Kebencian terhadap sang ibu membuat dia tidak betah berada lama di ruang kunjungan. Segera, dia memberikan undangan pernikahan pada Inah. Wajah wanita paruh baya itu berubah pilu saat membacanya.
“Maaf jika aku menyematkan kata almarhumah di samping nama Ibu. Seperti yang Ibu lihat sendiri, calon mertuaku adalah polisi berpangkat tinggi. Mereka tidak akan merestui pernikahan kami jika tahu Ibu adalah seorang pembunuh,” ketus Rena.
Mendengar hal itu, Inah tidak bisa menahan bulir bening yang meluncur di pipinya. “Maafkan Ibu, Ren. Seandainya Ibu tidak membawa Bapak tiri di rumah kita. Ini pasti tidak akan terjadi,” kata Inah dengan bahu bergetar.
“Iya, Ibu aneh! Untuk apa Ibu menikahi laki-laki itu jika kemudian membunuhnya dan berakhir di tempat ini. Sudahlah, aku harus kembali ke kota. Ini akan jadi pertemuan terakhir kita.” Rena bangkit dan berlalu meninggalkan ibunya yang masih tersedu penuh penyesalan.
Di perjalanan pulang dari Lapas, Rena melewati rumahnya. Dia menghentikan mobil dan masuk ke rumah kosong itu, mencoba mencari barang kenangan dari ayah kandungnya. Aroma kayu lapuk dan sarang laba-laba menyapa tatkala pintu dibuka.
Rena memberanikan diri menengok kamarnya, tetapi ingatan traumatis itu mulai bermunculan. Pusing menjalar kepala, dia mengerang hingga terjatuh menahan sakit dan sesak. Dalam ingatan menyesakkan tersebut, gunting berlumuran darah di tangan Rena direbut Inah. Sementara itu, tubuh bapak tirinya terkapar di atas kasur, hingga membuat pembaringan gadis yang hampir direnggut kesuciannya itu merah penuh darah.
Indramayu, 6 Juli 2021
Penulis : Nita Yunsa
#ajangfikminjoeraganartikel2021
#Day2
Editor : Rizky Amallia Eshi