Oleh Nita Yunsa
Saat gadis seumurnya memilih curhat di media sosial, Mila malah lebih suka mencurahkan isi hatinya padaku. Anggap saja dia kuno karena selalu menuliskan kisahnya di lembaran tubuh putihku, seperti remaja tahun 90-an. Namun, aku malah menyukainya.
Tulisan Mila sangat cantik dan rapi. Dia selalu menghias tubuhku dengan pena warna-warni. Gadis yang tidak terlalu menonjol di SMA itu sebetulnya pandai melukis wajah seseorang. Ya, hanya seseorang. Alasan dia memilihku untuk tinggal bersamanya juga karena orang itu. Namanya Sandy, kakak kelas Mila sekaligus anggota tim basket.
Mila pernah bercerita bahwa dia menyukai Sandy sejak kelas sepuluh. Semua berawal ketika Mila duduk di taman sekolah sambil membaca novel, bola basket yang dimainkan anak kelas lain hampir saja mengenai wajahnya. Beruntung Sandy segera menepis bola itu.
“Lu enggak apa-apa?” tanya Sandy sambil memegangi pundak Mila.
Sementara itu, Mila hanya mematung karena terpesona akan tatapan Sandy. Dia bahkan menggambarkan momen jatuh cinta pada pandangan pertamanya itu di tubuhku seperti komik.
Menurutku, bakat menggambarnya itu lebih cocok dikembangkan untuk menciptakan komik romantis, daripada mencurahkan isi hati tentang Sandy. Namun, sifat pemalu Mila mungkin yang menyebabkannya tidak percaya diri untuk tampil berkarya.
Selain pemalu, Mila itu sangat teledor. Dia sering kehilangan barang karena lupa menaruhnya. Yang paling parah adalah hari itu, saat aku ditinggalkan begitu saja di meja perpustakaan karena dia terkejut melihat kedatangan Sandy. Aku juga merasa heran, tumben sekali remaja penggila olahraga itu muncul di perpustakaan.
Peristiwa lebih gawat terjadi tatkala Sandy menemukanku. Dia mulai membuka baju pelindungku dan memandangi semua coretan di tubuhku. Aku bahkan terpaksa tinggal di rumahnya selama semalam.
Saat Sandy terus tersenyum membaca curahan hati Mila, aku malah mengkhawatirkan gadis itu. Mila pasti sedang mengacak-acak tas dan kamarnya untuk menemukanku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana ekspresinya jika mengetahui teman curhatnya ini ditemukan oleh pemuda yang dia sukai.
Keesokan harinya, Aku melihat Mila duduk di taman dengan wajah murung pada jam istirahat. Sandy melangkah mendekati Mila sembari menggenggamku.
“Lu pinter gambar, ya?” tanya Sandy sambil mengulurkan tubuhku, hingga Mila sontak berdiri dan matanya membulat.
Mila segera menarik dan memelukku. Dia tertunduk dengan wajah memerah. Sandy memintanya untuk kembali duduk dan mereka pun duduk berdampingan di kursi taman.
“Maafin gue udah lancang baca diari lu, sampe jadi tahu perasaan lu, Mil! Tapi, maaf gue enggak bisa bales perasaan lu.” Sandy membuka perbincangan.
“Iya, Kak. Mila tahu kakak pasti sudah punya pacar,” lirih Mila, dengan mata terus menatapku yang berada di pangkuannya.
“Bukan, Mil. Gue belum punya pacar. Tapi, kita memang enggak bisa bersama karena kita satu kakek,” jelas Sandy.
Mila yang tadinya tertunduk sontak menoleh ke arah Sandy hingga mata mereka saling bertemu.
“Iya, Mil. Mama kita itu saudara beda ibu. Gue pernah lihat lu waktu diem-diem jenguk kakek di rumah sakit. Mama gue enggak begitu suka sama nenek lu. Wajar kalau lu enggak tahu kakek punya cucu selain lu,” terang Sandy.
Sejak kejadian itu, Mila memiliki teman curhat baru, sementara aku ditinggalkan begitu saja di dalam kardus bersama buku-buku lamanya.
Indramayu, 4 Agustus 2021
Penulis : Nita Yunsa
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day20
#TemaAkuSebagaiBenda
#GenreTeenlit
Editor : Ruvianty