Oleh: Haryati Hs
Titis menatap nanar sosok yang berdiri di hadapannya. Tubuh berbalut gamis lengkap dengan jilbab lebar itu tidak dikenalinya. Perlahan diamatinya wajah yang tertutup masker medis biru muda itu. Terdapat sorot teduh dari sepasang bola bening di balik kacamata minus. Ia mengenali mata itu, tetapi tidak dengan sorotnya.
“Elis? Ini beneran kamu?”
Titis mengitari perempuan yang dipanggilnya Elis. Bahkan tangannya sampai memegangi pundak dan lengan perempuan itu bergantian, seolah sedang menelitinya. Tak dihiraukannya beberapa pasang mata yang teralihkan dari santapan mereka oleh perilaku anehnya.
“Ya Allah … kamu bener-bener berubah, ya? Masyaallah, kamu sudah dapat hidayah rupanya!” seru Titis.
Ditariknya Elis perlahan sampai terduduk di kursi. Perempuan itu tidak menolak. Sesaat tampak ia akan membuka suara, tetapi pertanyaan Titis kembali menghujaninya.
“Kamu kok nggak cerita-cerita sih, Lis, kalau mau hijrah? Sejak kapan? Kenapa? Ayo, cerita sekarang!โ
Lawan bicara Titis mendongak ketika seorang pramusaji menghampiri dan memberikan dua buku menu.
“Mau langsung pesan, Bu?” tanyanya sopan.
“Kami lihat dulu ya, Mbak. Nanti dipanggil,” jawab Titis cepat.
Melihat konsumennya seperti sedang terburu-buru, pramusaji itu mengangguk dan berlalu setelah memberikan selembar kertas kecil dan pena, serta menerangkan fungsinya.
Titis kembali menatap temannya yang ternyata sedang sibuk dengan telepon selularnya. Ah, mungkin Elis sedang berkirim pesan, batinnya.
Ia pun membuka buku menu dan mulai menelusuri gambar-gambar cantik yang semuanya menggugah selera. Pilihan pun ย jatuh pada sepiring udang bertepung yang digenangi kuah kemerahan yang tampak kental dan berhias potongan timun, wortel, serta nanas yang ditata cantik di atasnya.
Saat mengangkat kepala, Titis mendapati sosok Elis sedang meletakkan ponselnya di atas meja.
“Sudah? Yuk, pesan dulu,” pintanya sambil menunjuk buku menu di hadapan Elis.
Wanita yang dipanggil Elis mengangguk perlahan. Binar matanya menyampaikan seulas senyuman. Setelah menuliskan apa yang ingin dipesannya, ia melambaikan tangan pada pramusaji yang menunggu tak jauh dari meja mereka.
“Sudah siap memesan, Bu?”
Titis meraih kertas kecil dari tangan Elis dan memberikan kepada pramusaji. Setelah mengulangi semua yang tertulis di sana, pramusaji yang ramah itu meninggalkan mereka.
“Nah, Lis, ayo, dong, cerita. Gimana sejarahnya, sampai kamu mutusin untuk hijrah? Kok bisa?” tuntut Titis.
Bukannya menjawab, wanita yang diminta bercerita tadi malah melambaikan tangannya ke arah pintu masuk. Dengan refleks Titis memutar tubuh mengikuti arah lambaian tangannya dan tercengang.
Sosok ramping berbalut celana jins agak ketat dan blus motif bunga yang cerah sedang berjalan ke arah mereka seraya melambaikan tangan. Rambutnya yang panjang bergoyang-goyang seirama derap langkahnya.
Seketika Titis berdiri dan membekap mulutnya, menahan teriakan yang nyaris lepas.
“Maaf, Tis. Aku mampir toilet dulu.” Gadis cantik yang baru datang itu menurunkan maskernya dan tersenyum lebar.
“Aku mau meluk, tapi takut dibilang nggak jaga jarak,” ucapnya sembari tertawa renyah.
“Elis?! Jadi … ini siapa?” tunjuk Titis dengan wajah memerah kepada perempuan yang masih duduk santai di hadapannya.
“Ini Teh Irma, kakakku yang tinggal di Bandung.” Elis memperkenalkan dengan riang.
Dengan rasa malu yang terlihat di wajahnya, Titis menghadap Teh Irma dengan menangkupkan kedua tangannya di depan dada sambil bergumam, “Maaf, Teh. Kok Teteh nggak bilang?”
Elis mendekat dan berbisik, “Teteh nggak bisa ngomong, Tis.”
Editor: Fitri Junita
Keren mbak ?
Terima kasih, Mbak.