By. Eulis Eva Kurniasari
Dalam sakitmu, keceriaan selalu terpancar. Tak banyak kata yang kau ucapkan. Tatapanmu tajam terasa menusuk relung hatiku yang paling dalam dan membuatku salah tingkah.
“Mengapa Ayah memandangiku seperti itu? Ada yang salah dengan penampilanku?”
Saat itu hanya senyuman manis yang tersungging dibibirmu. Dan tatapan yang lebih tajam membuat aku terdiam. Diamku penuh dengan tanya.
“Ada apa denganmu, Yah?” batinku
“Apakah kau hendak pergi kuliah, hari ini, Nak?”.
“Iya, Yah, hari ini jadwalku padat sekali di kampus. Ayah tidak apa-apa aku tinggal?”.
“Pergilah, sayang! Do’a Ayah menyertaimu.”
Terlihat tatapanmu yang tajam itu mengeluarkan butiran air bening yang meleleh di pipimu yang semakin tirus. Mau tak mau akupun ikut meneteskan air mata.
“Sepulang kuliah, kau tak perlu , ke rumah sakit lagi. Pulanglah ke rumah. Rapikan rumah. Khawatir banyak tamu yang datang. Malu bila berantakan. Insya Allah Ayah akan baik-baik saja di sini, Nak.”
“Baiklah, Ayah! Aku pamit pergi ke kampus ya!”
Aku ciumi kedua tanganmu. Dan akupun pamit kepada ibu untuk segera pergi ke kampus.
Sepanjang jalan aku membayangkan kebersamaan denganmu. Karena kau adalah sosok lelaki yang kucintai selama ini.
“Kau cinta pertamaku, Ayah!” bisik hatiku.
Sosokmu selalu tampak begitu menyayangi ibu dan semua anakmu. Ayah, kau adalah sosok yang ramah, disiplin dan bersih. Kau tak suka bila melihat rumah berantakan.
Setelah kuliah selesai, aku pulang ke rumah. Rumah yang dulu penuh keceriaan, kini bagaikan tak berpenghuni sejak ayah dirawat di rumah sakit. Tinggal suara kicauan burung-burung yang indah terdengar dari sangkarnya.
“Tenanglah yah, rumah selalu aku rapikan, bila ada tamu yang berkunjung ke sini, tentunya tidak akan kecewa,” gumamku sambil tersenyum mengingat pesanmu, Ayah.
Malam itu badanku terasa lelah sekali. Mataku sudah bagaikan lampu lima watt. Aku segera berbenah untuk tidur. Tak lama datanglah rasa kantuk, hingga membuatku terlelap tidur dalam keheningan malam.
Kumandang adzan shubuh terdengar jelas, suaranya mengalun dari pengeras suara masjid membangunkan lelapnya tidurku.
Aku buka mata ini serta kubacakan do’a bangun tidur di dalam hati.
Aku bergegas mengambil air wudlu dan melaksanakan salat subuh. Aku panjatkan do’a terbaik untuk kesembuhanmu, Ayah agar kau segera pulang dan berkumpul bersama kami di rumah.
Tiba-tiba aku teringat kata-kata ayah sebelum dilarikan ke rumah sakit.
“Sayang, bila Ayah pergi, kau harus rukun bersama kedua kakakmu.”
“Ya, iyalah, Yah. Memangnya Ayah mau pergi kemana? Aku tak mau ditinggalkan Ayah.”
“Namanya manusia hidup, pasti akan pergi ke kantor atau ke tempat lain”, ucap ayah dengan penuh canda.
“Ah, Ayah ada-ada saja, kita kan enggak pernah berantem, Yah. Paling kakak, yang suka menggoda aku sampai aku menangis.”
Saat itu kau tampak tersenyum mendengar ucapanku. Aku memang anak paling bontot yang sangat dekat denganmu, Ayah.
“Aku tahu Ayah kuat, cepat sembuh, Ayah!”
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day1
#tema: bebas
435 kata
Bandung 6 Juli 2021
Editor : Ruvianty