By Dewi Hendrawati Triesnaningtyas
Pwo Huang Lee, seorang pemuda ambisius dari desa Dong Tze, berjalan hilir mudik di lobi hotel. Ia merasa gelisah karena Tuan Besar Gwee Sun Kian belum datang juga padahal beliau berjanji datang sebelum pukul dua siang.
Matanya berkali-kali menoleh jam tangan. Jarum pendek menunjuk angka tiga sedangkan jarum panjang tepat berada di angka dua belas. Demi impian menjadi ‘Tangan Kanan Lapis Satu’ di perkebunan kelapa sawit Tuan Besar Kian, ia tetap bersabar. Termasuk peringatan adiknya, Bun Hwa Lee, ia abaikan.
“Ko, kulihat kau makin dekat dengan Gwee Sun Kian! Apa kau berpihak padanya? Awas saja jika kau ada di pihaknya, aku tidak akan segan memenggal lehermu!” ancam Bun Hwa Lee.
Lima menit kemudian seorang laki-laki tua dengan topi model koboi tiba di depan pintu lobi.
Pwo Huang Lee bangkit dari duduknya dan membungkuk dengan takzim.
“Selamat sore, Tuan Besar Kian!”
Ia mengangkat topi dan memegangnya di tangan kiri, sedangkan tangan kanan dilipat dan diletakkan di atas perut.
“Ya, duduklah!”
Laki-laki gendut bertopi koboi itu menyuruh Lee duduk.
“Apakah semua sudah beres?”
“Sudah, Tuan. Semua aman terkendali!”
“Berapa desa yang sudah melepaskan tanahnya?”
“Sudah tujuh dari sepuluh desa yang saat ini setuju melepas tanahnya!”
“Bagus, tinggal sedikit lagi!”
“Mm … tapi….”
“Tapi apa, Lee?”
“Jika sepuluh desa ini berhasil kuamankan, kuharap Tuan tidak lupa akan janji Tuan,” kata Lee sopan.
“Tenang saja, aku pasti ingat. Bukan sekedar mandor lagi, bahkan posisi penting itu akan kuberikan!” tegas Tuan Besar Kian.
Lalu matanya menoleh kepada Chuang Fa, kekasih Tuan Besar Kian yang berlesung pipit dan berbulu mata lentik. Chuang Fa mengangguk. Perempuan mungil itu mendekati Pwo Huang Lee seraya memberikan sebuah bungkusan.
“Tanda terima kasih dari Tuan Kian!”
Pwo Huang bergetar memandang mata bening dan bibir tipis Nona Fa.
“Ehm!” Tuan Besar Kian batuk kecil demi melihat Chuang Fa yang tidak beranjak dari depan Lee.
Bergegas, Nona Fa memutar badan dan mengambil posisi ke samping Tuan Kian.
“Kutunggu kabar baiknya minggu depan!”
***
Bun Hwa Lee mencekal leher kakaknya ketika mendengar kabar Pak Tjong Oen Wen, calon mertuanya diserang sang kakak.
“Kubunuh kau jika masih menganggu warga desa!”
“Satu langkah lagi impianku menjadi tangan kanan lapis satu Tuan Besar Kian akan menjadi kenyataan. Kemudian, aku bisa hidup senang bersama Chuang Fa. Jangan kau menghalangiku!”
Tepuk tangan terdengar bersamaan dengan keberhasilan Pwo Huang Lee menyabetkan belati ke punggung adiknya. Bun Hwa Lee roboh bersimbah darah, persis seperti yang ia lakukan pada Pak Tjong Oen Wen dan orang-orang desa yang tidak mau mengindahkan perintahnya.
Seorang perempuan mendekati Huang Lee dan menyandarkan kepalanya di dada bidang Lee.
“Kau memang lelaki sejati, Lee. Tidak seperti Tuan Kian!” desah Chuang Fa merdu di telinga Huang Lee.
***
Darah mudanya bergolak. Huang Lee sedikit melirik ke arah Chuang Fa yang sedang bergandengan tangan dengan Tuan Besar Kian. Ia berusaha menepis cemburu. Paling tidak, ia telah berhasil mengambil hati majikan bandotnya itu. Tangan kanan lapis satu sudah dalam genggaman. Tidak lama lagi, setelah menggeser kedudukan Tuan Besar Kian, dia akan memiliki Chuang Fa seutuhnya.
***
#ajangfikminjoeraganartikel2021
#Day4
#penjilat
Editor : Rizky Amallia Eshi