Oleh: Nurhasanah
Maya mengambil ikat rambut kesayangannya, lalu mengikat rambut tebalnya dengan cepat. Ia bergegas keluar dari kamar karena mendengar suara seseorang mengetuk pintu depan dan memanggil namanya.
Siapa, ya, malam-malam begini, batinnya. Maya melirik jam dinding di ruang tamu yang menunjukkan pukul 22.00 WIB. Rasa takut tiba-tiba muncul di benaknya. Malam itu, suaminya tidak ada di rumah, sedang tugas piket di tempatnya bekerja.
“Lo, Widia?! Aku kira siapa! Kok, malam-malam, sih? Ada perlu apa?” Maya memberondong sahabatnya itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang sepatutnya tidak perlu ia tanyakan.
Wajah Widia tampak kusut. Ia tidak segera menjawab pertanyaan sahabat SMA-nya itu, malah menghambur ke pelukan Maya yang tampak bingung.
Widia menangis, menumpahkan kesedihannya dalam pelukan Maya.
Wanita berkulit putih dan berbadan langsing itu berkata, “Suamiku, May! Suamiku! Entah setan apa yang bersarang di otaknya sampai ia berbuat begitu.”
Maya berusaha menenangkan Widia dan mengajaknya masuk ke ruang tamu. Suasana malam yang dingin membuat Maya tampak menggigil. Sudah beberapa hari ini, ia merasakan hal yang tidak enak pada tubuhnya.
“Mau minum apa, Wid?” tanya Maya saat Widia sudah mulai tenang.
“Apa saja, lah!” jawab Widia singkat.
Maya bergegas ke dapur menyiapkan segelas teh manis hangat. Widia selalu datang kepadanya saat memiliki masalah. Ia sudah bertahun-tahun bersahabat dengan Widia. Persahabatan yang sudah terjalin layaknya saudara.
Maya memperhatikan Widia yang sedang menikmati teh hangat buatannya. Ia tampak kehausan setelah menumpahkan tangisnya.
Wanita yang duduk di hadapannya itu lumayan cantik. Namun, perjalanan hidupnya tidak seindah tampilan wajahnya.
“Sekarang kamu cerita, ya. Mungkin nanti aku bisa bantu,” ucap Maya membuka percakapan.
Widia menghela napas panjang, ia terlihat begitu kecewa dan sedih. Suami yang ia pacari sejak duduk di bangku sekolah kini menghianatinya.
“Aku capek, May! Besok aja, ya.” tolaknya pelan.
Maya tidak ingin memaksa sahabatnya. Ia tahu kekecewaan Widia bukan sekali ini saja. Pras suaminya, sudah sering mendatangkan prahara dalam rumah tangga mereka. Entah apa yang menyebabkan mereka belum dikaruniai anak meski sudah dua tahun menikah.
Malam makin larut. Maya kembali ke kamar setelah mengantarkan Widia ke kamar tamu, sebelah kamar tidurnya. Ia mengambil selimut tebal yang diletakkan di sandaran kursi. Tubuh kecilnya makin tidak kuat merasakan dingin yang malam itu kian menusuk.
Editor: Indah Taufanny