Titik Jeha
Hari sudah beranjak malam.
Kuraih tas di meja dan segera menghubungi Mas Angga. Nada sambung dari ponsel begitu jelas di telinga, tetapi tak ada jawaban. Kuulangi lagi menelepon dan menunggu beberapa saat. Tersambung. Tetap saja tidak diangkat. Penasaran mulai menyerbu kepala, riuh. Untuk ke tiga kalinya kucoba mengklik tombol ulangi sambil komat-kamit mengucap basmalah dengan sepenuh hati.
Tuuuut! Tuuuut! Tuuuut …!
Dada mulai bergememuruh. Ya, Allah! Tidak direspon juga. Kenapa, ya? Apa yang terjadi? Ada apa dengan Mas Angga? Seingatku, belum pernah dia mengabaikan telepon meskipun sedang meeting. Kutarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.
“Bagaimana, Nduk. Sudah kamu kabari, suamimu?” tanya ibu memecah kegalauan.
“Belum, Bu. Aku telepon tapi tak diangkat,” jawabku mulai khawatir.
“Ya, sudahlah. Semoga suamimu baik-baik saja. Kita makan dulu, yuk. Nanti keburu dingin,” saran ibu.
Aku mengangguk lalu mencoba menikmati makan malam bersamanya senyaman mungkin. Namun, entah mengapa hati dan pikiran ini tak bisa lepas dari Mas Angga.
Praanggg!!!
Tiba-tiba gelas di tanganku jatuh dan pecah begitu saja.
“Innalillahi..!” seruku dan ibu hampir bersamaan.
“Kenapa, Nduk?”
“Entahlah, Bu. Gelasnya lepas sendiri,“ timpalku.
Aneh. Gelas itu seolah loncat dari genggaman.
Tiba-tiba ponselku bergetar. Alhamdulillah, Mas Angga.
“Assalamualaikum, Mas. Kamu baik-baik saja?” sapaku menahan diri.
“Waalaikumsalam,” jawab laki-laki di seberang sana.
Kok, bukan suara Mas Angga? Mas Angga ke mana? batinku resah.
“Apakah saya berbicara dengan Ibu Lina?”
“Iya, saya sendiri.“
“Maaf, kami dari kepolisian, Bu. Memberitahu bahwa suami ibu baru saja mengalami kecelakaan di jalan Ir. Sutami dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit ….”
Jantungku seolah berhenti berdetak. Duniaku tiba-tiba runtuh, gelap gulita.
***
Sayup-sayup, terdengar suara MC yang mengumumkan bahwa jenazah akan segera diangkat untuk dibawa ke pemakaman. Air mata yang mengucur tak tertahankan. Aku menggelengkan kepala, menolak ajakan melihat mayat Mas Angga untuk terakhir kalinya.
Sungguh tak sanggup melihat jenazah Mas Angga. Badanku begitu lemas tiada daya. Jangankan untuk duduk, berdiri atau berjalan, bergerak saja rasanya tak mampu. Energiku seolah tersedot habis tak bersisa, terbujur lemah di lantai kamar, ditemani ibu dan kerabat dekat yang berempati.
Kenapa kau tinggalkan aku, Mas, jerit hatiku.
Bayangan saat terakhir bersama Mas Angga masih berputar-putar jelas di kepalaku. Senyumnya, pelukannya, ciumannya, bahkan wangi tubuhnya begitu lekat.
Waktu itu, hari belum Zuhur.
“Tumben sudah pulang, Mas?” tanyaku heran.
“Enggak boleh, ya? “
“Boleh dong, Mas. Aku senanglah,” jawabku sambil bergelayut manja di bahunya.
“Aku kangen kamu. Kangen sekali …,“ ucap Mas Angga dengan mesra sambil menggandeng tanganku masuk ke kamar.
Sebentar kemudian aku telah beradu kasih dengan Mas Angga, seolah baru pertama kali melakukannya. Saat bermesraan, mendadak Mas Angga terdiam dan menatapku dalam-dalam. Ada sirat gelisah yang terbaca di matanya, seakan hendak mengatakan sesuatu.
“Ada apa, Mas?”
“Enggak apa-apa, Sayang. Tolong, maafkan aku, ya. I love you,” ucapnya sambil mengecup lembut kening dan mencium bibir begitu hangat seakan tak mau lepas.
Aku menjawabnya dengan pelukan.
***
Seminggu telah berlalu. Aku masih belum bisa move on atas kematian Mas Angga. Setiap bangun tidur, aku pasti mencarinya, seakan dia masih ada.
Hari ini, semua barang Mas Angga sedikit demi sedikit mulai aku bereskan. Aku masih belum tahu akan kuapakan benda-benda itu nantinya, yang penting tertata rapi dahulu.
Terdengar suara ponsel bergetar di atas meja rias, ternyata milik Mas Angga. Sebuah pesan masuk lewat Whatsapp.
[Mas, kapan ke sini? Kangen, nih. Pengin pelukan yang lama. Oya, dua hari lagi jadwal Cika diimunisasi. Cika pengin diantar dan ditungguin sama papanya. Bisa kan, Sayang? Jangan lama-lama di sana, ya. Love you]
Tanganku gemetar memegang ponsel itu. Hatiku tersayat. Perih. Pesan itu kubaca berulang kali seakan tak percaya. Tertulis di profilnya sebuah nama ‘Maharani Angga’ dengan background foto Mas Angga bersama seorang perempuan sedang menimang bayi yang lucu, tersenyum bahagia.
Bandung, 19 Januari 2019