Titik Jeha
Nano masih tampak duduk di samping gundukan tanah merah bertabur kembang setaman itu. Rasa kehilangan yang dalam tidak dapat disembunyikan dari wajah dukanya. Sejak tadi tangannya memegang dan mengelus papan kayu yang tertancap di pusara bertuliskan Kamti binti Wiryo Atmojo, ibunya.
Marno, kakaknya, terlihat sibuk. Disambanginya kaum kerabat dan semua orang yang silih berganti datang takziyah, sambil sesekali menghampiri Nano yang duduk termangu di pinggir dipan tempat tidur ibunya.
Nano sangat terpukul. Baginya, sosok ibu tidak dapat tergantikan. Perannya begitu lengkap. Dia bisa menjadi guru, ayah, teman, sahabat, bahkan musuh.
“Dek, kita tengok makam ibu, yuk!” ajak Marno di suatu senja.
“Ayuk. Memangnya Mas Marno enggak menjemput Mbak Rita?” sahut Nano.
“Enggak. mbakyumu ada acara dulu bersama teman kantornya. Nanti, pulang mau diantar katanya,” ucap Marno.
“Ya sudah. Ayo, berangkat, Mas,” ajak Nano.
Mereka berjalan beriringan menuju tempat pemakaman umum Desa Sukamaju yang terletak di pinggir sungai.
Sepulang dari makam, Nano tampak gelisah mondar-mandir di kamar ibu. Dia mencari surat tanah milik almarhumah yang kemarin disimpan rapi di koper dokumen.
Keningnya mengernyit, mata menatap tas berbentuk kotak warna hitam yang tergeletak di lantai. Dia yakin betul, surat berharga itu harusnya ada di sana.
“Mas, lihat sertifikat punya ibu enggak?” tanya Nano sambil membuka laci meja rias ibunya.
“Sertifikat yang mana? Aku enggak tahu, No. Itu kan tugas kamu,” sahut Marno dari ruang tengah.
“Sertifikat tanah yang di sebelah selatan sungai Arum, hilang, Mas,” tutur Nano.
“Hilang bagaimana maksudmu? Jangan main-main, loh, ya. Surat tanah itu penting, No. Kok bisa hilang?!” tukas Marno gusar.
“Hilang ya, hilang to, Mas,” jawab Nano putus asa. Dia terduduk lemas di sudut kamar.
Kemana hilangnya surat itu, ya? batin Nano penasaran.
Seminggu telah berlalu. Sertifikat yang mendadak menghilang, sampai sekarang belum ada titik terang. Nano sudah mencarinya ke seluruh ruangan dan sudut yang ada di rumah itu, tetapi hasilnya nihil.
Dari kejauhan, terlihat Bimo berlari-lari ke arahnya. Keponakannya itu tampak gembira ria membawa bola mainan dan sebuah tas plastik berwarna hitam.
“Assalamualaikum, Om,” sapa Bimo sambil mencium tangan Nano.
“Waalaikumsalam, Bim,” sahut Nano, “Ada apa kamu lari-lari begitu?” lanjutnya.
“Bapak ada di sini enggak, Om?” tanya Bimo.
“Ada. Lagi mandi, tuh.”
“Oh. Bisa enggak Bimo nitip ini buat Bapak, Om?” tanya Bimo sambil menyodorkan tas plastik berwarna hitam yang dibawanya.
“Apa ini, Bim?”
“Enggak tahu, Om. Waktu di depan warung Mak Minah, ibu nitip ini buat bapak.”
“Oh, gitu. Tunggu aja di sini. Sebentar lagi pasti bapakmu selesai.“
“Aduh, gimana, ya, Om. Bimo nitip aja ke Om Nano, ya. Bimo sudah ditunggu sama teman-teman. Kasihan, mereka sudah lama menunggu.”
“Baiklah. Nanti Om sampaikan ke bapakmu,” jawab Nano mengambil tas plastik itu dari tangan Bimo.
“Terima kasih, ya, Om!” teriak Bimo berlari kegirangan.
***
Selepas magrib dan membaca Alquran, Nano menghampiri Marno yang duduk di ruang tengah.
“Mas, ini ada titipan dari Bimo,” kata Nano sambil menyimpan benda itu di atas meja.
“Dari Bimo? Apa ini, No?” tanya Marno meraih tas plastik warna hitam yang ditaruh Nano.
“Enggak tahu, Mas. Buka saja,“ kata Nano datar.
Marno segera membuka tas plastik itu. Dia ingin tahu isinya. Nano yang duduk di sebelahnya ikut memperhatikan, penasaran. Benda itu terbungkus kertas koran bekas yang digulung dan ditali dengan karet gelang.
Wajah Marno seketika memerah menahan malu, saat bungkus kertas koran itu terbuka, ternyata sertifikat tanah milik ibunya yang hilang.
Bandung, 11 Januari 2019