Bruk!
Suara tumpukan buku yang ambruk bergema di ruangan itu. Spontan aku menoleh ke arah sumber suara yang ada, persis di samping kiriku. Waduh, ternyata aku telah bersenggolan dengan seseorang yang menyebabkannya hilang keseimbangan dan menubruk tumpukan buku yang akan dibereskan.
Aku bersyukur karena pagi itu belum banyak pengunjung yang datang di perpustakaan kota yang sedang kukunjungi. Jadi, tidak menyita perhatian banyak orang di sana.
Kulihat seorang gadis berkaca mata sedang jongkok membereskan buku-buku yang bertebaran di lantai. Kasihan, akibat dari kecerobohanku yang berjalan sambil membaca pesan di WhatsApp dia hampir jatuh, menubruk tumpukan buku, dan membereskannya sendiri.
“Maafkan, Mbak. Saya tidak sengaja,” ucapku dengan perasaan bersalah, setelah menghampiri dan ikut merapikan buku-buku yang masih tersebar.
Gadis itu sejenak berhenti mengambil buku lalu menoleh ke arahku. Ia mengangguk, dan melempar senyum. Alhamdulillah, hatiku sangat lega karena kupikir ia akan marah dan memaki. Ternyata prasangkaku salah semuanya. Yang terjadi malah sebaliknya.
“Sekali lagi saya minta maaf. Kenalkan, saya Fajar. Boleh saya berteman?” tanyaku sambil mengulurkan tangan kanan mengajaknya bersalaman. Aku tak peduli dia berpikir macam-macam tentangku, yang penting aku ingin menunjukkan iktikad baik dengan menebus kesalahan dan berteman.
Gadis berkerudung abu-abu itu menganggukkan kepala lagi dan memberikan senyuman yang tulus kepadaku. Cukup manis dengan tatapan mata yang teduh. Ah, pikiran nakalku mulai menjelajah.
Uluran tanganku disambutnya dengan menangkupkan kedua telapak tangan di depan dadanya. Masih dengan senyum, tetapi tatapannya kini merunduk. Baiklah, aku menghargai caranya tidak mau menerima uluran tanganku, meskipun terasa agak aneh. Jujur, ada perasaan malu yang mengalir di dada.
“Boleh tahu namanya, Mbak?” Aku mencoba menanyakan namanya karena gadis itu belum menyebutkan nama sejak tadi. Kuberikan padanya sebuah kartu nama yang kebetulan tersedia di saku kemeja. Entah kenapa, aku merasa nyaman berada di dekatnya dan ingin lebih mengenalnya. Semoga saja dia mau berteman denganku.
Tiba-tiba telunjuk gadis itu mengarahkanku pada sebuah tulisan “Terima kasih Anda tidak berisik” yang terpasang di dinding perpustakaan. Alamak, aku merasa tak berkutik dan hanya mampu memberinya sebuah senyuman yang lebar.
Gadis itu lantas mengambil selembar kertas HVS ukuran A4 dan sebuah pulpen dari map folder-nya. Dia menuliskan sesuatu yang ternyata adalah nama dan sebuah alamat yang dilengkapi nomor WhatsApp, lalu diserahkannya padaku. Hatiku bersorak gembira mendapat kesempatan untuk mengenalnya. Namanya Tania. Dia punya sebuah toko hijab di Jalan Cakrawala 8 “Tania’s Hijab”.
“Bolehkah aku kapan-kapan ke sana?” bisikku perlahan berharap memperoleh persetujuan Tania. Lagi-lagi gadis itu mengangguk sepakat.
Buku-buku yang bertebaran itu sudah tersusun kembali di tempatnya. Sudah saatnya aku dan Tania berpisah untuk melanjutkan aktivitas masing-masing. Andai saja aku tidak ada janji maka aku pasti masih bersamanya.
“Terima kasih, assalamualaikum,” kataku berpamitan dan segera berlalu dari hadapan Tania.
*
Hari ini genap seminggu aku berkenalan dengan Tania. Gadis manis yang mampu mencuri perhatian dan membuatku merasa penasaran. Aneh. Seminggu tidak bertemu hatiku merasa gelisah. Terbayang selalu tatapan yang teduh di balik kaca matanya. Kucari kertas HVS pemberian dari Tania dan bergegas meluncur ke jalan raya untuk mencari alamat yang terdapat di sana. Aku ingin segera menemukan sosok gadis yang baru saja kukenal itu.
Alhamdulillah, setelah tanya sana sini, akhirnya aku pun menemukannya. Sebuah toko hijab sederhana yang lumayan menarik. Aku sengaja tidak mau memberi kabar padanya bahwa aku akan ke sana hari ini. Tujuan utamaku sekarang adalah melihatnya dulu sebagai penawar rasa rindu.
Tiba-tiba, aku dihenyakkan oleh sebuah realita yang tak pernah terlintas sebelumnya. Ya, Allah! Ternyata Tania tidak bisa bicara. Dia gadis bisu. Ada sesuatu yang meyesakkan dada, entah apa. Yang pasti, aku seakan ditampar menyaksikan Tania yang berbicara tidak jelas dan menggunakan bahasa isyarat. Lama aku termenung memikirkan semuanya.
*
Makin lama mengenal Tania, makin membuatku terpana. Dia memang gadis tunawicara yang memiliki keterbatasan, tetapi apa saja yang telah dilakukannya justru melebihi kemampuan orang-orang yang normal. Aku sendiri tidak bisa membohongi perasaanku kepada Tania. Apa pun akan kulakukan untuk bisa mendapatkan hatinya. Tekadku makin bulat untuk segera melamarnya. Aku ingin selalu bersamanya, saling menyayangi, dan membuatnya bahagia.
Aku mencoba untuk mengatakan perasaanku pada Tania. Tak peduli apa pun hasilnya, yang penting sudah mengusahakannya.
[Tania, maukah kamu menjadi teman hidupku?]
[Benarkah? Coba pertimbangkan dulu baik-baik, Mas. Jangan sampai menyesal kemudian]
[Maksudmu?]
[Aku bukan gadis biasa, Mas. Allah memberiku anugerah kebisuan. Apakah Mas sudah mempertimbangkannya?]
[Insyaallah aku siap menerima semua keadaanmu, Tania. Percayalah!]
[Terima kasih. Apakah Mas juga sudah bicara kepada orang tua dan mengatakan keadaanku yang sebenarnya?]
[Aku memang belum bicara kepada orang tuaku. Insyaallah secepatnya akan kulakukan.]
[Bicarakan dulu baik-baik dengan kedua orang tuamu, Mas. Aku akan menunggu.]
*
Ya, Allah. Tolong buatkan skenario yang baik untukku agar bisa menyampaikan tentang Tania kepada kedua orang tuaku. Aku harus bisa meyakinkan mereka bahwa di balik kekurangannya, Tania adalah sosok perempuan salihah dan calon menantu idaman.
Aku sadar, hal tersebut pasti tidak mudah aku dapatkan. Namun, dari mana aku tahu jika tidak kuusahakan? Aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan. Demi cinta Tania yang belum tentu kuperoleh dari yang lain. Demi kebahagiaanku bersamanya.
Bandung, 12 Oktober 2019
***