Titik Jeha
Hari Minggu yang cerah. Mas Toni, suamiku pergi ke luar kota beberapa hari untuk urusan bisnis. Seperti biasanya, adik-adik dan ibu akan menemani di rumah sampai Mas Toni kembali pulang.
Begitupun hari ini, kami berkumpul di rumah dan menikmati kebersamaan itu. Meskipun hanya aku dan anak-anak, kedua adikku Lita dan Lia, serta ibu, setidaknya mampu mengisi rasa kehilangan akan keberadaan Mas Toni.
Betapa gembiranya anak-anak yang bebas bermain ditemani malaikat penjaga yang setia, yaitu ibuku, nenek mereka. Sementara aku dan adik-adik menyiapkan berbagai menu untuk makan bersama, sambil bersenda-gurau, riuh bercengkerama, dan saling cerita apa saja.
***
Entah bagaimana awalnya ketika aku sedang menyiapkan jus jambu kesukaan anak-anak, tiba-tiba aku mendengar ada suara orang sedang ribut di teras. Kusimak baik-baik sambil bergegas menuju sumber suara. Salah satu suara yang kukenal adalah suara Lita. Tapi dengan siapa dia adu mulut? Ibu?
Aku segera berlari ke luar untuk menuntaskan rasa penasaran. Astagfirullah, benar saja, kudapati Lita sedang bersitegang dengan ibu.
“Kamu itu kalau dibilangin sama orang tua selalu saja membantah. Mbok sekali-kali kamu nurut kata-kata Ibu to, Nduk. Lha wong kenyataannya Masmu Toni itu memang lebih peduli ke ibu daripada kamu, kok.”
“Tapi kan tidak berarti aku lebih buruk to, Bu. Aku ini kan anak kandung ibu.”
“Terus mau kamu apa, Lita?” tanya ibu dengan nada tersinggung.
“Mau aku, Ibu itu membuka mata lebar-lebar dan tidak mudah ditipu oleh kebaikan Mas Toni yang beracun,” tukas Lita, ketus.
“Maksudmu?!“ cecar ibu, penasaran.
“Bu, aku tidak bisa dibandingkan dengan Mas Toni menantu kesayangan ibu itu. Ibu pasti enggak percaya kan, kalau Mas Toni itu tak lebih dari laki-laki bajingan?” seru Lita sengit.
“Jaga mulutmu, Lita! Hati-hati kalau bicara, jangan asal ngomong kamu!” Suara ibu meninggi, marah.
“Ibuku yang baik, aku enggak asal ngomong, ya. Ibu ingat enggak, seminggu yang lalu Mbak Nisa sakit dan aku diminta menginap di sini? Apakah Ibu dan Mbak Nisa tahu yang dilakukan Mas Toni padaku? Saat Mbak Nisa dan anak-anak sudah lelap, dia datang ke kamar merayu dan mengajakku tidur. Bagaimana menurut Ibu, apakah Mas Toni pantas aku sebut kakak? Kalau bukan laki-laki bajingan, sebutan apa yang lebih pas, Ibu?!”
“Cukup, Lita!“ teriakku dengan suara bergetar.
“Nisa?!” ucap ibu kaget.
Lita yang sedari tadi tak berhenti bicara mendadak diam tercekat. Mukanya memerah. Tampak sekali wajah panik tersirat di rautnya. Sedangkan aku sendiri tidak tahu bagaimana ekspresi wajahku saat itu. Hanya saja, telingaku terasa panas terbakar mendengar celoteh Lita. Antara percaya dan tidak, aku mencoba untuk menahan gejolak yang meradang.
***
Malam semakin larut, tapi aku belum bisa memicingkan mata sedikit pun. Kejadian di teras tadi siang masih terbayang jelas dan menari-nari di pelupuk mata. Aku tak bisa menampik resah gulana yang mengacau anganku. Perang batin berkecamuk di dada. Sesak.
Kupandangi satu persatu anak-anak yang sedang tertidur lelap. Kusimak lekat-lekat wajah lugu yang belum ada catatan dosa itu. Kucium keningnya, matanya, pipinya, tubuhnya, rambutnya, dan … semuanya.
Berulang kali kucium mereka seakan tak pernah puas. Kupeluk kedua tubuh kecil itu dengan segenap rasa dan kubiarkan airmata yang tanpa permisi membanjiri kedua pipi.
‘Sanggupkah aku hidup tanpa mereka?’ batinku sedih menatap kedua buah hatiku.
Bandung, 05 Januari 2019