“Mom, please forgive me, I have to do this,” Kusentuh lembut bahu ibuku yang memalingkan wajahnya setelah aku memberi pengakuan.
“So, you choose her than your family?” Suara Mom bergetar. Aku bisa merasakan betapa ia menahan kesedihan yang mendalam disebabkan oleh pernyataanku.
“I’ve been thinking, and study this thing for so long … its not just because I do crush on her. Its about my faith, Mom,” kupeluk perlahan kedua bahunya dan menghirup wangi helaian rambutnya yang mulai memutih, sebelum bibirku mendarat di pipinya yang masih basah oleh air mata.
Mom, I’m so sorry …
Dia tahu aku telah lama menyukai Aysha, anak gadis Haji Shalih, tetangga sebelah rumah kami.
***
Aku tahu keputusan untuk berpindah keyakinan ini akan menimbulkan gejolak di dalam keluargaku. Meski Daddy memberi lampu hijau, bukan berarti yang lain akan dengan entengnya mengamini.
Mom sangat shock ketika pertama kali mendengar tentang berita keislamanku, demikian pula dengan keempat saudaraku yang lain. David menarik kerah bajuku, Ben menyarangkan tinjunya ke ulu hatiku, Liz bahkan menamparku, sementara Jessica hanya menangis seraya menatapku tak percaya. Kemudian mereka pergi meninggalkan aku yang masih memohon agar Mom sudi berbicara padaku dan memaafkan tindakanku.
Aku tahu suatu hari semua ini akan terjadi. Telah kubulatkan tekadku walau kisah Mus’ab bin Ummair begitu menghantui, membuat bulu kudukku berdiri setiap kali membacanya. Begitu pula dengan kisah Sa’ad bin Abi Waqash yang lebih memilih kehilangan kasih ibunya daripada keteguhan iman yang bersemi di dalam hatinya.
Ada banyak kisah tentang hijrahnya para sahabat nabi yang telah menginspirasi dan sukses menggetarkan hati serta memantapkan langkahku. Sungguh kemewahan yang ditawarkan dunia tak sanggup menggoyahkan keimanan mereka empat belas abad yang lalu. Begitu besar pengorbanan dan tanpa ada penyesalan mereka menapak dengan keyakinan menuju hidayah dengan berharap keridaan dari Allah azza wajalla semata.
***
Sebulan yang lalu, di ujung North Bridge Road Singapura, kota di mana aku menjalani masa studiku.
Telah kulafazkan dua kalimat syahadat tanpa keraguan, di bawah kubah emas Masjid Sultan yang megah.
Kutatap sang minaret yang menjulang genit mencubit langit. Mengedarkan pandangan pada wajah-wajah teduh yang telah menemaniku meniti ilmu di awal masa keislamanku. Kutangguhkan niat menghubungi dia yang kurindu di tanah air. Aku bertekad menguasai dulu bab sholat fardhu, berharap layak menjadi imamnya saat kami bertemu dan halal di sisiMu, Yaa Robb …
Dan sekarang di sinilah aku, berdiri di hadapan gadis yang telah menawan hatiku dua puluh tahun silam. Ayahnya berjalan mendekatiku, matanya berbinar seraya memeluk erat tubuhku.
“Selamat Danis, barokallah Nak … ayah bangga padamu,” aku meringis, bekas pukulan Ben meninggalkan rasa sakit yang lumayan menyiksa.
“Kok, Danis terluka?” Gadisku panik seketika. Ayahnya segera memapahku duduk di bangku terdekat.
“Dari mana Ayah tahu saya sudah menjadi seorang mualaf?” tanyaku.
“Bapakmu yang menceritakan semuanya, mengapa baru datang sekarang?” Lelaki yang sudah kuanggap sebagai ayahku sendiri itu balik bertanya.
“Saya sedang menyiapkan diri, Yah … memantaskan diri menjadi imam untuk Aysha,” jawabku seraya melirik gadis yang malu-malu mendekat dengan kotak P3K di tangannya.
Haji Shalih mengangguk seraya menepuk lembut bahuku.
“Baiklah, bagaimana jika ijab kabulnya dilaksanakan ba’da maghrib Ini?” usul lelaki tua itu mantap. Aku menelan saliva, secepat itu?
“Lalu bagaimana dengan keluargaku, Yah? Mereka masih sangat marah … ” aku kehabisan kata-kata, sementara wajah Aysha yang kulirik sudah merah merona.
“Kamilah keluarga barumu sekarang, Nak … selesaikan satu persatu lebih dulu, dan malam ini ku ingin kau halalkan segera anak gadisku,” tegasnya.
Allahu Akbar …
Mataku refleks tertuju pada sebentuk wajah ayu yang setengah mati kurindu. Butiran air matanya mengalir membasahi pipi, bibirnya melafaz dzikrullah di antara deru nafas dan degub jantungnya yang memburu.
“Bersediakah kamu kunikahi malam Ini, Aysha?” tanyaku setengah berbisik yang dibalas dengan anggukannya yang melegakan hatiku.
Setelah melalui perjalanan panjang menggapai hidayahMu, izinkan aku menyempurnakan dien ini, Yaa Robb.
Izinkanlah kami menyatu dalam sunnah Nabi-Mu, diliputi atmosfer sakinah mawadah warohmah hingga akhir waktu. Izinkan kurengkuh keluarga baruku dalam ketaatan pada-Mu.