Dua minggu lagi adalah hari pernikahan Ardi dengan Maya. Mereka berdua adalah sahabatku sewaktu kuliah. Kami satu angkatan. Aku dan Maya, bahkan sudah berteman sejak SMA. Hubungan kami bertiga pun berjalan dengan lancar dan baik-baik saja.
Ada perasaan sesak di dada, saat aku mengingat semua kenangan di antara kami. Persahabatan yang diukir begitu indah, ternyata meninggalkan jejak luka di hatiku.
***
Setelah kami lulus kuliah, aku dan Maya mempunyai janji untuk saling berkirim surat. Meskipun kemajuan teknologi sudah canggih, tetapi kami lebih suka menuangkan rasa rindu lewat surat karena kami berdua suka menulis.
Sementara Ardi yang tidak suka menulis, berpesan kepada kami agar tidak perlu repot-repot berkirim surat kepadanya karena pasti tidak akan di balas. Aku dan Maya tertawa mendengar celotehannya itu.
Namun, aku tidak mempedulikan kata-katanya itu. Sebenarnya, sudah sejak lama aku menaruh hati kepada Ardi. Tetapi, aku tidak mau menodai persahabatan ini dengan rasa cinta itu. Oleh karenanya, aku hanya menuangkan perasaanku itu ke dalam sebuah surat yang tidak pernah kukirimkan kepadanya. Surat itu hanya aku simpan sendiri ke dalam sebuah kotak kecil. Aku sudah merasa cukup puas dengan menuangkan perasaanku ke dalam surat itu.
Satu tahun menjadi masa-masa yang menyenangkan bagi aku dan Maya. Surat demi surat yang kami kirim menjadi pengobat rindu dan sarana untuk menuangkan kisah kami setelah kembali ke kampung halaman masing-masing.
Kadang-kadang kami juga saling telepon, jika ada kabar yang penting untuk disampaikan. Seperti siang ini, saat istirahat kerja, sebuah telepon dari Maya berdering.
“Assalamualaikum, Nina, apa kabar?” Terdengar suara Maya di seberang.
“Waalaikumsalam, alhamdulillah, aku baik-baik saja, May,” ucapku dengan nada ceria.
“Ardi melamarku Nin, ternyata selama ini dia menyimpan perasaan kepadaku,” ucap Maya dengan nada riang.
Aku benar-benar kaget mendengar kabar itu. Tiba-tiba, aku merasakan duniaku berubah warna, menjadi buram.
“Wah! Selamat, ya May, semoga hubungan kalian langgeng sampai ajal menjemput,” kataku dengan nada parau.
“Besok datang, ya Nin, dihari pernikahan kami. Nanti aku kirim undangannya lewat pos,” celoteh Maya dengan bahagia.
“Iya, insyaallah aku pasti datang,” aku menjawab pelan.
Terus terang, aku merasa sedih mendengar kabar bahagia mereka berdua itu. Bagiku, Maya sudah kuanggap seperti saudara sendiri dan Ardi, aku menyukainya sejak lama. Namun, takdir berkata lain. Mereka ternyata berjodoh, dan sepertinya tidak ada alasan bagiku untuk tidak ikut bahagia dengan kabar pernikahan mereka.
***
Hari terus berlalu, waktu pernikahan mereka sudah dekat, aku pun mulai menyiapkan diri untuk menghadirinya. Dua minggu lagi, peristiwa bersejarah dalan kehidupan mereka dan persahabatan kami akan terjadi.
Aku mengeluarkan semua surat-surat yang kutulis untuk Ardi, jumlahnya ada lima belas lebih. Kubaca ulang semua surat-surat itu dengan linangan air mata.
Surat terakhir untuk Ardi kutulis dua bulan yang lalu. Di situ, aku tuliskan semua harapan dan doa agar kelak kami berjodoh. Namun, Allah berkehendak lain. Sepertinya mulai hari ini aku tidak perlu lagi menulis surat buat Ardi karena dia tidak akan pernah membalasnya sampai kapan pun.