Setumpuk kartu undangan pernikahan dengan warna biru tua kombinasi biru muda dengan hiasan bunga-bunga yang indah, tersusun rapi di atas meja dalam kamar. Ada beberapa lembar yang masih terbuka. Di sana terukir indah nama YUNITA ANGGRAINI dan HARDI WIBOWO. Itu namaku dan nama calon suamiku. Mas Hardi, sekarang lidah ini mulai terbiasa memanggilnya dengan panggilan itu.
***
Hatiku seperti tertusuk sembilu jika mengingat semua peristiwa yang terjadi dua bulan yang lalu. Pak Hardi, adalah duda dengan tiga orang anak. Usianya di atas lima puluh tahun. Anak pertamanya duduk di bangku SMA kelas dua, seorang anak laki-laki yang cuek dan sedikit pendiam, anak keduanya perempuan, kelas tiga SMP. Remaja yang cantik dan energik. Lalu si bungsu Dino, umurnya baru lima tahun, dan dia adalah muridku di Taman Kanak-Kanak tempat aku mengajar.
Dino anak yang baik, lucu dan sangat penurut. Sebagai guru aku pun menyayanginya sama seperti murid-muridku yang lain. Namun, mungkin karena dia sudah kehilangan sosok Ibu di usia dua tahun, membuatnya dekat denganku, bahkan dia menganggap aku sebagai ibunya. Secara otomatis, kedekatanku dengan Dino berimbas dengan dekatnya aku kepada ayahnya, Pak Hardi.
“Terima kasih, Bu Nita. Selama ini sudah menjadi guru sekaligus teman buat anak saya,” kata Pak Hardi.
“Sama-sama, Pak, sudah tugas saya untuk membimbing dan menyayangi murid-murid saya selayaknya anak sendiri.”
Padahal aku sendiri belum menikah, tetapi karena setiap hari aku berhubungan dengan anak-anak, secara otomatis melahirkan jiwa keibuan dalam diriku.
Begitulah, waktu terus berlalu. Aku bahkan tidak pernah menyangka, jika ternyata kedekatan kami menumbuhkan benih-benih cinta di hati Pak Hardi terhadap diriku.
“Bu Nita, ada hal penting yang ingin saya bicarakan.” Bu Rosa, kepala sekolah tempat aku mengajar tiba-tiba ingin berbicara serius denganku. Terus terang aku merasa deg-degan, adakah yang salah denganku. Saat tiba di dalam ruangannya, beliau mempersilakan aku duduk.
“Maaf, Bu Nita, saya ingin menyampaikan hal yang sifatnya pribadi, mohon Ibu mendengarkan dulu dan tolong dipikirkan masak-masak.” Keringat dingin mulai mengaliri tubuhku, “Ada apakah ini?” Pertanyaan itu menari-nari di dalam kepalaku.
“Dua hari yang lalu, Pak Hardi datang menemui saya pribadi di kantor ini, beliau menyampaikan lamaran kepada Ibu, untuk bermaksud menjadikan Bu Nita sebagai istrinya. Bu Nita tahu kan kalau istri Pak Hardi sudah meninggal tiga tahun yang lalu?”
Suara Bu Rosa seperti peluru yang menghunjam tepat di jantungku. Aku terkejut mendengar pernyataan itu, aku merasakan keringat dingin ini bertambah deras mengalir di tubuhku.
“Silakan Ibu pikirkan dulu, saya tunggu jawabannya dua minggu lagi.” Aku hanya mengangguk samar. Selama dua minggu itu menjadi hari yang menegangkan buatku dan keluargaku. Ibu langsung menolak kabar yang kusampaikan, dengan alasan Pak Hardi seorang duda. Namun, Bapak, sepertinya tidak mempermasalahkan hal itu.
“Asalkan niatnya baik, semua anak-anaknya bisa menerima, Bapak setuju. Yang penting, Nita terjamin masa depannya.” Pak Hardi memang berkecukupan secara materi, dia bekerja di departemen keuangan dan, mengelola sebuah mini market di dekat rumahnya. Akhirnya, Ibu pun mulai melunak hatinya.
Aku sendiri sebenarnya tidak merasa keberatan dengan lamaran itu. Aku tahu Pak Hardi orang yang baik agamanya, sopan dan perhatian dengan keluarga. Mungkin statusnya sebagai duda itulah yang kadang masih menjadi ganjalan di hatiku. Perbedaan usia di antara kami yang cukup jauh, hampir dua puluh tahun lebih, dan anak-anaknya yang sudah remaja. Apakah mereka bisa menerima kehadiranku sebagai pengganti ibunya? Pertanyaan itu yang kadang-kadang masih menggangguku.
Akhirnya setelah melewati banyak diskusi dengan keluargaku dan salat Istikharah, aku pun memutuskan menerima lamaran itu. Pak Hardi sangat senang dengan keputusanku. Setelah menyampaikan secara resmi kepada keluargaku perihal lamaran itu, kami memutuskan untuk melangsungkan pernikahan satu bulan lagi.
Aku mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pernikahanku nanti. Kartu undangan sudah kupesan jauh-jauh hari, gaun pengantin sudah dipesan ke seorang teman yang pandai menjahit. Aku juga sudah menghubungi pihak katering yang akan menjamu para undangan nanti. Bisa dikatakan, persiapan pernikahanku sudah delapan puluh persen.
***
Aku baru saja selesai mengerjakan salat Subuh, tiba-tiba terdengar suara telepon berbunyi.
“Assalammualaikum.” Satu suara, dari seorang perempuan terdengar di seberang.
“Apa benar ini Bu Nita?” suara itu terdengar serak.
“Iya, ini saya Nita, ini siapa ya?”
“Saya Ratna, putrinya Pak Hardi, mau mengabarkan kalau Papa baru saja meninggal karena serangan jantung sepuluh menit yang lalu.” Suara itu berubah menjadi sebuah isakan.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.”
Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku, tubuhku langsung lemas, merosot jatuh ke lantai, telepon seluler yang kupegang terjatuh, pecah berantakan. Selanjutnya, pandanganku terasa nanar dan berangsur gelap.