Substitute
Emmy Herlina
“Pergilah, John menunggumu.”
Lucia bergegas keluar menemui John. Tak lupa dia ucapkan terima kasih kepada Marry, teman sekamarnya sebelum pergi.
“Hai, John.”
Punggung bidang itu pun berbalik menghadap Lucia.
“Aku tak akan lama. Aku hanya ingin memberitahu kalau aku tak bisa menemanimu malam ini.”
“Karena?”
“Aku harus melakukan hal lain.”
“Baiklah, kenapa tidak kirim chat saja?”
“Rasanya tidak sopan jika tidak menyampaikan secara langsung.”
Lucia mengangguk-angguk. Begitu pun, ketika John berpamitan pulang.
Di saat yang sama, Marry keluar dari kamar. Di tangannya memegang Gucci cokelat.
“Kau mau titip makan malam, Ci? Sekalian kopi panas.”
“Aku masih kenyang,” ucap Lucia menolak dengan halus.
Marry menuju gerbang asrama ketika John tiba-tiba menggamit lengannya.
“Hei, nanti Lucia melihat!” tepis Marry.
“Jangan khawatir, dia pasti sudah di kamarnya sekarang. Hmm … mau kucarikan ‘kopi panas’?” John mengedipkan sebelah matanya.
Tak lama, keduanya sudah berada di dalam Ferrari merah milik John yang sengaja di parkir jauh, agak tersembunyi. John memeluk Marry erat dan mereka pun saling bermesraan.
Sementara itu, Lucia terdiam memandangi ponselnya. Baik Dicky, Artino, semua teman pria yang dihubunginya tidak ada yang bisa menemani. Lucia sudah telanjur berjanji untuk menghadiri pesta ulang tahun Sheila, sepupunya, tidak sendiri.
Dia ingin membuktikan kedewasaannya dengan membawa seorang pacar. Jika John tidak bisa menemani, setidaknya dia harus mencari lelaki lain sebagai substitute boyfriend.
Lucia menghela napas. Dia harus membuat satu keputusan terberat dengan menghubungi satu nomor lagi. Sebuah kontak yang terpaksa disimpan karena pemiliknya adalah seorang ketua kelas Lucia.
Setidaknya, tindakan itu menjadikan Lucia kini berada di sebuah Camaro kuning, kendaraan yang mengingatkannya pada Bumblebee di Transformer.
“A-aku senang k-kau mengajakku, Lucia,” ucap Max tergagap di balik kemudi.
Lucia tersenyum tipis, berusaha untuk tidak memandang cowok nerd berkacamata itu.
Dalam acara Sheila, Lucia terpaksa memperkenalkan Max sebagai pacarnya. Dia tak punya pilihan selain mendapatkan tatapan sinis dari Sheila.
Tak lama terdengar lantunan nada country dari ponsel Max.
“Halo? Ya? A-aku sedang ada acara,” ucap Max setengah berteriak agar suaranya tak teredam musik, saat menerima panggilan selular.
“A-apa? Ma-Marry ke-kecelakaan?”
“Kau tadi menyebut nama Marry?” tanya Lucia setelah Max menutup ponselnya.
“Ya. Ka-kau tahu Marry se-sepupuku, kan? Te-teman sekamarmu di asrama. Di-dia mengalami kecelakaan, dan kudengar pa-pacarnya meninggal. Ma-maaf, Luci. A-aku harus ke rumah sakit.”
“Astaga! Marry? Aku ikut!” seru Lucia.
Lucia berpamitan dengan Sheila. Sepanjang perjalanan, Lucia mengingat-ingat terakhir kali Marry keluar untuk membeli makan malam, tetapi tak jua kembali hingga Lucia dijemput oleh Max.
Ternyata, Marry pergi bersama pacarnya. Pacar? Lucia bahkan tak tahu Marry sudah mempunyai pacar!
Sesampai di rumah sakit, Max mencari Marry. Perawat menunjuk arah tempat ICU berada.
Lucia terpaku menatap sosok yang terbaring tertutup selimut dengan tangan terjuntai keluar di sebuah brankar yang didorong dua orang perawat laki-laki.
“Casio G-shock,” lirih Lucia menyebut merek arloji.
Perlahan Lucia mendekat lalu membuka selimutnya. “John!”
Bandar Lampung, 6 Juli 2021
Fitri Junita (editor)
Super ??