Oleh Rizky Amallia Eshi
“Kamu yakin ini alamatnya, Sis?” tanya Antoni.
Sekitar jam setengah enam sore tadi, Siska merengek minta diantarkan ke sebuah alamat kepada Antoni. Gadis itu mengatakan bahwa dia mendapatkan pesanan lumayan banyak. Sayangnya, si pemesan meminta agar barang tersebut diantarkan ke rumahnya. Karena masih satu kota, Siska pun menyanggupi hal itu. Apalagi orang tersebut bersedia memberikan uang tambahan jika Siska bisa sampai di rumahnya sebelum pukul sembilan malam. Alhasil, Siska meminta tolong kepada sahabatnya itu.
Sebagai tetangga juga sahabat, mau tidak mau Antoni menyanggupi permintaan tersebut. Mereka berdua mengendarai mobil menuju alamat yang diberikan pemesan barang. Namun, ada sedikit kejanggalan begitu keduanya tiba di lokasi itu.
Rumah yang mereka tuju berada jauh dari jalan besar. Di sekelilingnya tidak ditemukan satu pun rumah penduduk. Hanya ada tanah kosong dan beberapa pohon pisang di sisi jalan. Jika tidak mengandalkan lampu sein mobil, mungkin hanya kegelapan yang mengiringi perjalanan mereka.
“Iya, Ton. Bener, kok, ini alamatnya. Petunjuk di peta mengarahkan ke sini,” jawab Siska.
Di tengah kebingungan, keduanya melihat sebuah rumah berlantai dua dengan gaya Victoria yang dihiasi nyala lampu di ujung jalan.
“Itu mungkin rumahnya, Ton,” tebak Siska.
Setelah menghentikan mesin mobil, Antoni dan Siska keluar dari mobil. Keheningan mengiringi langkah mereka hingga sampai di teras rumah tua tersebut. Meski sedikit takut, Siska memberanikan diri memencet bel rumah.
Tidak lama kemudian, pintu rumah pun terbuka. Tampak sosok pria tua berpakaian ala pelayan menyambut kedatangan mereka. Wajahnya sedikit seram terutama ketika dia tersenyum.
“Selamat datang, Nona Siska. Tuan rumah kami sudah menunggu kedatangan Anda,” sapa pelayan tersebut, “Silakan masuk.”
Siska mengeratkan pegangannya ke lengan baju Antoni. Sahabatnya itu melihat raut muka gadis di sebelahnya yang begitu pucat.
“Maaf, bisa kami di sini saja dan langsung menerima pembayarannya?” tanya Antoni sopan mewakili Siska.
Pria tua itu tersenyum lalu masuk ke dalam rumah, membiarkan Antoni dan Siska di luar dan pintu terbuka.
Dari balik punggung Antoni, Siska sedikit mengintip isi dalam rumah itu. Di depan pintu masuk ada tangga yang menuju lantai dua. Di salah satu dari sisi lorong, terdapat pintu yang sepertinya menuju ke ruang keluarga. Ada perapian yang sedang tidak dipakai di sana. Di sisi yang lain tampaknya menuju ke ruang makan. Sedangkan di bawah tangga ada pintu menuju dapur dan jam tua yang menunjukkan angka delapan tepat.
“Ini,” kata pelayan tersebut yang tiba-tiba muncul di belakang Siska.
Antoni dan Siska terkejut. Entah dari mana datangnya pelayan tersebut karena seingat mereka pelayan itu tadi masuk ke dalam rumah naik ke lantai dua.
“T-Terima kasih,” cicit Siska ketakutan sambil menyerahkan pesanan.
“Silakan dihitung dulu uangnya,” kata pelayan itu lagi kala melihat Siska menerima amplop.
“Tidak apa-apa. Saya yakin uangnya pas,” kata Siska sambil menarik lengan baju Antoni.
Keduanya pun segera menaiki mobil dan pergi meninggalkan tempat itu.
“Serem banget, sih! Aku masih kaget waktu tiba-tiba pelayan itu muncul dari belakang,” kata Siska kepada Antoni yang sedang menyetir.
Saat hendak belok masuk ke jalan besar, tiba-tiba saja kaca mobil mereka diketuk orang.
“Mas, ngapain malam-malam ke kuburan?” tanya laki-laki penjaga warung dekat belokan itu.
***
RAE
Editor : Ruvianty
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day8
#TemaRumahTua