By. Eulis Eva Kurniasari
(461 kata)
Bram, Alex dan Key, bersiap untuk mengadakan perjalanan ke Gunung Misteri. Perjalanan kali ini membuat hati Key merasa was-was.
“Serius, kita akan mendaki ke gunung misteri petang ini, Bram?”
“Ya. Siapkan fisik dan mental kalian. Sudah tidak ada waktu lagi untuk berdebat, Key!”
“Tuhan, perasaan hatiku mulai gundah. Betapa angkernya tempat ini. Selamatkan kami, Tuhan.”
“Tenanglah, Key. Jangan pernah takut. Enggak akan ada apa-apa di sini.”
Bram dan Alexa yakin akan pendiriannya. Mereka akan melanjutkan perjalanan ke puncak gunung misteri.
Suasana gunung mulai gelap. Ketiga pemuda itu mencari tempat untuk beristirahat sejenak, sambil menunggu mentari pagi memancarkan sinarnya.
“Alexa, Key, bantu aku untuk menyalakan kayu bakar ini.”
“Baiklah Bram.”
Berkat kerjasama ketiga pemuda itu. Akhirnya kayu bayar itu menyala.
Bram mulai melihat sepasang mata terang memandang ke arahnya.
“Hai, pergilah. Jangan halangi perjalanan kami.”
“Bram kau berbicara dengan siapa?”
“Dengan rumput yang bergoyang, Key.”
Bram terpana dengan si mata terang yang mulai mendekatinya. Ada rasa cetar membahana di dalam hatinya.
*
Hujan rintik-rintik membasahi atap daun tempat berlindung. Bram melihat kedua temannya tertidur nyenyak.
Si mata terang itu tiba-tiba menghilang. Penasaran, Bram mulai mencarinya.
“Hai, di mana kau? Kemarilah.”
Perlahan si mata terang itu keluar dari semak belukar.
“Hai, anak muda. Hentikan perjalananmu menuju puncak gunung misteri. Jika kalian ingin pulang dengan selamat.”
Tak lama, si mata terang itu menghilang dalam penglihatan Bram.
Dinginnya angin malam itu menusuk sekujur badannya. Tak terasa rasa kantuk pun datang.
*
Matahari mulai terbit dari ufuk timur. Terdengar suara beberapa orang yang sedang mengangkat tiga orang jenazah. Mereka, para pendaki yang nekat menuju puncak gunung misteri.
Kakek berjanggut panjang telah mengingatkan pemuda itu, tetapi tak dihiraukannya. Hingga ajal merenggutnya. Mereka pulang tanpa nyawa.
Alexa, Key dan Bram, tertegun melihat jasad tanpa nyawa tersebut. Badannya sudah tidak utuh lagi.
Kakek berjanggut panjang menghampiri mereka.
“Nak, tinggalkan daerah ini sebelum ajal menjemput kalian. Daerah ini sangat angker. Kita tidak boleh menyebutkan kalimat “aku lelah”. Jika sampai menyebutkannya, maka nyawa kita akan melayang.”
Merinding bulu kuduk ketiga pemuda itu.
Hai anak muda. Pergilah dari tempatku!
Terdengar suara si mata terang yang Bram lihat semalam.
“Nak, pulanglah sekarang juga!” pinta Kakek itu.
“Bram!” Teriakan Alexa dan Key membuyarkan pandangan kosong Bram.
“Astagfirullah hal ‘adzim.”
“Ba-baiklah, Kek. Kami tidak akan melanjutkan perjalanan ini. Kami segera pulang. Semalam aku pun telah diingatkan oleh sosok yang bermata terang.”
“Siapa Bram?”
“Entahlah, Lex.”
“Bersyukurlah kalian diingatkan olehnya. Andaikan kalian nekat. Nasib kalian akan seperti mereka.” Kakek berjanggut panjang pun tersenyum.
“Bram, Lex, demi keselamatan kita. Mari kita bergegas pulang.”
“Baiklah, Key.”
Sesaat, Si mata terang memperlihatkan wujudnya kepada Bram, lalu tak lama menghilang.
“Terima kasih, mata terang,” ucap Bram dalam hati.
Percaya tidak percaya menyebutkan kalimat “aku lelah” nyawa menjadi taruhannya.
Alhamdulillah ya Allah, atas izin-Mu kami diselamatkan dari bahaya maut itu.
Bandung Barat, 13 juli 2021
#FikminJoeraganArtikel2021
#Genre:Fantasi
#TemaMitologi
Editor: Fitri Junita