Joeragan artikel

Sepenggal Kisah Tentang Kita



Hari masih sore ketika Arga sampai di terminal bis Kota Blitar. Tinggal sekali lagi naik bis atau angkot dia bisa sampai ke rumahnya.

‘Sudah banyak berubah,’ katanya dalam hati.

Banyak tempat yang dilewati angkot menuju desanya, tapi Arga sudah tak ingat lagi. Ketika dia melewati sebuah rumah sakit yang kelihatan masih baru bangunannya, dia sempat terheran-heran.

“Baru toh, Pak, rumah sakitnya?” tanya Arga pada sopir angkot.

“Lumayan, Mas,” jawab Pak sopir singkat tanpa menoleh pada Arga.

“Udah berapa lama, Pak?” tanya Arga penasaran.

“Kira-kira empat tahunan,” jawabnya, kali ini dia menoleh sekilas melihat Arga.

 

“Baru pulang dari rantau toh, Mas?” Kali ini si sopir yang bertanya.

“Iya, Pak,” Arga menjawab sambil menganggukkan kepalanya.

Arga tak ingat kapan terakhir dia ada di kota kelahirannya. Namun, dia tak pernah lupa apa yang membuatnya pergi dari kota ini.

***

[Mas Arga, cepat pulang Mas. Penting!] Pesan di WA dari Arti, adiknya.

[Ada apa? Belum waktunya jam pulang. Bentar lagi.] Arga menjawab.

[Wis toh, Mas. Pokoke mulih sek. Penting tenan iki] jawab Arti semakin mendesak Arga.

[Ono opo toh?] tanya Arga penasaran.

Arga akhirnya meminta izin untuk pulang lebih cepat kepada pemilik percetakan tempat dia bekerja.

Dalam perjalanan menuju rumah, Arga melihat banyak orang berkumpul di sekitar kediamannya. Mereka memandang Arga
sambil berbisik-bisik. Entah apa yang mereka bisikkan. Namun, Arga merasa ada yang tak beres.

Sampai di rumahnya, sudah banyak orang berkumpul. Ada Bapak yang wajahnya seperti menahan emosi. Ibu yang menangis sesenggukan di depan pintu kamar. Arti yang sesekali menyeka mata dengan ujung
hijabnya. Ada Pak RT juga Pak RW yang masih berseragam dinas PNS.

Arga juga melihat Sari, istrinya duduk bersebelahan dengan seorang lelaki yang dia kenal dengan baik. Sapto, sahabatnya sejak kecil. Juga Murni, istri Sapto yang gelisah mondar-mandir sambil menggendong anak mereka yang masih balita. Murni terlihat sangat geram dan berusaha menahan emosi.

Arga berdiri di pintu memandang satu-satu orang di ruangan itu.

“Ada apa ini?” tanyanya lemah hampir tak terdengar.

Dia tak mau berprasangka. Arga berusaha menata hati dan emosinya.

“Begini Nak Arga …,” kata Pak RT membuka percakapan.

Belum selesai Pak RT bicara, Murni sudah menyahut dengan emosi.

Bojomu kelon karo bojoku, Kang!!’ kata Murni dengan emosi yang sudah tak bisa dia tahan.

Arga terdiam. Tangannya mengepal, giginya gemeretak menahan emosi. Matanya mulai panas oleh cairan yang memaksa ingin keluar. Arga menatap tajam pada kedua orang yang sangat dekat di hidupnya. Kalau tak ada orang, entah apa yang akan Arga lakukan pada keduanya.

Hati Arga hancur, tetapi dia tak mungkin meluapkan emosinya di depan orang banyak. Itu sama saja membuka aibnya sendiri.

***

Arga tak pernah menyangka perkawinan dengan istrinya harus berakhir di meja hijau. Padahal mereka baru menikah selama tujuh bulan. Perempuan yang sangat dicintai dan dipujanya tega mempermalukan dia dan keluarganya.

“Ceraikan aku atau akan aku bongkar semuanya,” kata Sari setengah mengancam.

Arga terdiam mendengar ancaman Sari. Padahal dia sudah memaafkan kesalahan Sari. Arga berharap bisa membuka lembaran baru untuk rumah tangga mereka. Namun, kenyataannya Sari tetap
memilih berpisah dari Arga.

“Aku enggak akan bahagia sama kamu, Kang!” kata Sari tegas.

Arga terdiam mendengar kejujuran istrinya.

“Maafkan aku, Kang. Kalau saja sejak dulu kamu jujur padaku, tak mungkin aku mau menikah  sama kamu,” katanya kesal.

Ya, aku memang salah. Tak jujur tentang kondisiku. Nasi sudah jadi bubur, apa mau dikata.

Arga akhirnya mengalah. Dia menceraikan Sari tanpa syarat apa pun. Biarlah Sari memilih jalan hidupnya sendiri mungkin dia akan lebih bahagia tanpa Arga. Arga berharap Sapto berlaku jantan, mau mempertanggungjawabkan perbuatannya pada Sari. Namun, kenyataannya Sapto tetap memilih keluarga kecilnya. Tak berapa lama Sapto dan keluarganya pindah dari desa mereka. Tak ada yang tahu ke mana mereka pergi.

Kini Sari yang kebingungan mencari Sapto. Kabar terakhir yang Arga dengar, Sari sedang mengandung anak Sapto

***

Arga merasa sudah tak mampu tinggal di desanya. Dia memutuskan merantau ke Kalimantan. Dia ingin mengubur semua masa lalunya. Melupakan semua sakit hatinya. Melupakan perempuan yang sangat dia cintai sekaligus sangat dia benci.

Arga tak sepenuhnya menyalahkan Sari yang akhirnya memilih berselingkuh dengan Sapto. Arga tahu kenapa Sari sampai nekat melakukan itu. Sebagai suami Arga tak bisa memenuhi kewajibannya memberi nafkah batin pada istrinya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami