Titik Jeha
Hari ini, seperti biasa aku mampir ke kantin sekolah sebelum akhirnya bertapa di singgasana kelas. Tak sengaja sudut mataku menangkap sesosok bayangan yang amat kukenal. Lani.
Ya, gadis kecil siswa baru yang berhasil mencuri hatiku. Tumben sepagi ini dia sudah datang.
“Hai, Cinta! Assalamualaikum!” seruku menghampirinya dengan semangat.
“Waalaikumsalam. Eh, Bu Guru!” sahut Lani memandangku tersenyum.
Suara Lani terdengar agak aneh, berbeda dari biasanya. Aku mengernyitkan alis, berpikir. Astaghfirullah! Ada apa dengan gadis itu? Di wajahnya tersirat mendung.
“Apa kabar, Sayang? Rajin banget pagi-pagi sudah datang. Sudah sarapan belum?” tanyaku lembut seraya duduk di sampingnya.
Lani hanya diam memainkan boneka jari yang dipegangnya. Wajahnya kian menunduk. Senyum indah di sudut bibirnya menghilang.
Kuraih tubuh mungilnya perlahan ke pelukan dengan penuh kasih sayang.
Tiba-tiba gadis kecil itu menangis.
“Maafkan Ayah Lani, ya, Bu,” kata Lani di antara isak tangisnya,“Ayah sudah jahat pada Bu Guru.”
Aku bengong memandangnya, tak mengerti.
“Ibu harus berjanji sama Lani, mau memaafkan kesalahan Ayah,” ucap Lani terbata-bata.
Aku semakin bingung luar biasa.
“Sebentar, Lani Sayang, ibu bener-bener bingung, nih. Ayahmu kan belum kenal sama ibu. Ketemu juga belum, kok minta maaf. Salahnya apa? Terus, bagaimana mungkin bisa jahat sama ibu?” tanyaku beruntun. Logikaku tidak bisa menerimanya.
“Tapi Ayah yang bilang sama Lani,” isaknya sesenggukan sambil menyeka ingus yang mulai mengalir dari hidung.
Pikiranku melayang, samar-samar membayangkan ayahnya Lani yang belum kukenal sedang bicara pada Lani. Entah apa yang dibicarakannya.
“Aku lihatkan ke ayah foto Bu Guru yang selfie sama Lani waktu di kelas kemarin. Ayah bertanya siapa nama ibu. Ya, aku jawab, Ibu Aurum. Ayah kaget. Kata ayah, dia harus segera ketemu sama Bu Guru untuk minta maaf,” papar Lani. Tangisnya belum juga mereda.
“Bolehkah Ibu tahu, siapa nama ayahmu, Sayang?” tanyaku penasaran. Bayangan-bayangan hitam mulai menyerang benakku.
“Ardian Firmansyah,” ucap bibir mungil gadis kecil itu seraya menatapku.
Ya, Tuhan!
Aliran darahku sontak berhenti. Badanku menjadi lemas seketika. Memori luka masa lalu yang belum mengering, berlarian di kepala. Nama itu tak mungkin bisa hilang dari catatan hatiku, sepanjang masa.
Tiga tahun yang silam, ketika aku masih tugas mengajar di Kota Semarang. Ada seorang lelaki yang bernama Ardian Firmansyah, S.H, atas nama komite sekolah, melaporkan aku ke kantor polisi dan menuntutku dipidana. Saat itu, aku dituduh melakukan tindak kekerasan kepada anak. Perbuatan yang tidak pernah aku lakukan.
Setelah menjalani serangkaian persidangan yang cukup melelahkan, akhirnya aku dibebaskan bersyarat. Lalu aku mengajukan mutasi lintas provinsi, untuk memulai lembaran baru.
“Maafkan, Ayah Lani, ya, Bu,” pinta Lani mengiba.
Aku masih tidak percaya kalau murid baru favoritku ini adalah anak dari seorang lelaki yang telah tega membuat hidupku hampir luluh lantak. Bibirku bergetar tak sanggup untuk berkata-kata.
“Bu Guru, maafkan Ayah, ya,” Lani terus saja memohon tanpa lelah. Aku menjadi iba dibuatnya. Lagipula untuk apa mendendam terlalu lama.
Aku menganggukkan kepala, sambil mengusap air matanya dengan tisu yang kuambil dari tas. Sungguh, aku tidak tahu harus bagaimana, yang terlintas dibenakku saat itu adalah membuat Lani menjadi tenang dan berhenti menangis.
Gadis kecil itu meraih kedua tanganku lalu menciumnya dengan mesra.
“Terima kasih, Bu Guru mau memaafkan ayah. Hari ini ayah ingin bertemu dengan ibu, tapi khawatir ibu tidak mau memberinya maaf.”
“Iya, Sayang. Ibu memaafkan, ayahmu,” jawabku membuat Lani tersenyum.
“Baiklah, Bu. Lani izin dulu, ya. Lani mau memberitahu ayah.”
Aku tersenyum, melihat Lani berlari dengan wajah ceria. Gadis kecil itu meninggalkanku sendirian di pojok kantin sekolah.
“Lani, tunggu! Ada yang tertinggal!” aku berteriak mengacungkan boneka jari miliknya yang tertinggal di meja.
Gadis itu berlari secepat kilat, menghilang dari pandangan mata. Aku menghela napas dalam sembari berjalan menuju ruang kelas.
‘Ya, sudah. Nanti saja aku berikan boneka itu ketika di kelas,’ pikirku semangat.
Braaaakkkkk!!!
“Tolong! Toloooooong!!!”
Suara riuh terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Aku mencari sumber suara yang ternyata dari arah jalan raya di dekat sekolah.
“Ada apa, Pak?” tanyaku pada salah seorang di sana, ingin tahu.
“Kecelakaan, Bu Guru. Kasihan mereka. Ada bapak-bapak yang mengantar anaknya, tertabrak mobil,” jawab bapak itu berempati.
Entah bagaimana, tiba-tiba aku teringat pada Lani dan ayahnya. Jangan-jangan ….
Dengan hati gelisah, aku segera berlari menghambur di antara kerumunan.
Ya, Allah!
Duniaku seketika gelap gulita.
Bandung, 25 Januari 2019