Hai, Zee!
Bagaimana keadaanmu sekarang? Semoga lebih baik, ya. Semoga tetap bisa tersenyum untukku meski aku tak bisa melihatnya.
Kamu bilang masih suka menungguku di teras depan rumah, seperti saat kita luangkan waktu bersama dulu. Benarkah? Aku bahagia mengetahuinya.
Aku di sini sering tersenyum sendiri jika mengingat hari-hari kebersamaan kita. Sungguh indah dan menorehkan rindu untuk bisa mengulangnya. Apakah kamu juga merasakannya?
Maaf, jika aku telah lama tidak memberimu kabar. Bukan aku sengaja melupakanmu atau ingin menjauh darimu. Tidak. Aku hanya mencoba untuk memahami diriku sendiri yang selama ini sering tak kumengerti.
Aku tahu kamu pasti marah kepadaku. Caramu yang tidak membalas emailku sudah cukup memberikan jawaban. Aku sangat mengenalmu, Zee.
Untuk pertanyaanmu kapan aku pulang, sungguh aku tidak bisa menjawab. Itu salah satu hal yang tidak bisa kupastikan. Karena bagiku hidup bagai air yang mengalir.
Sekarang terserah padamu, apakah terus menunggu hingga aku pulang atau tidak. Aku tak berhak membelenggu langkahmu. Toh, di dunia ini tak ada yang abadi. Semuanya fana.
Aku juga tidak bisa memastikan jalan hidupku setelah ini. Entah akan kembali ke Indonesia atau melanjutkan cerita di sini.
Mungkin bagimu aku seorang lelaki egois dan tidak peduli pada ikatan cinta yang pernah ada di antara kita. Ya, bisa jadi itu benar adanya. Karena aku benar-benar tidak bisa memberimu kepastian.
Jadi, tolong lupakan semua tentang kita. mimpi kita. Buang dan hapus saja, seolah tak pernah terjadi apa pun. Nikmati harimu dengan langkah yang ringan tanpa beban memikirkan aku. Tersenyumlah pada matahari yang masih setia menyapamu di pagi hari.
Aku? Aku akan tetap menjadi Arga selamanya. Entah cinta dan cerita akan kembali menyatukan kita atau tidak. Biarkan saja waktu berjalan apa adanya tanpa rekayasa.
***
Zahra membaca email itu sekali lagi sebelum melangkah ke ruang tengah tempat keluarga dan sanak familinya berkumpul. Dihelanya napas dalam-dalam, seraya menatap sepotong wajah letih di cermin.
Hari ini, tanpa persetujuan siapa pun kecuali Tuhan dan dirinya sendiri, ia telah memutuskan untuk menerima lamaran Ryo, teman karib sekaligus sepupu Arga. Lelaki yang menemaninya selama tujuh tahun sebagai teman dan sahabatnya.
“Sudah siap, Zee? Semua pada nunggu, lo. Acaranya mau dimulai. Ayo, kita ke depan!” ajak Kak Santi dengan senyum penuh kasih.
Zahra membalas senyuman lewat pantulan cermin. Satu ruang di hatinya telah tertutup yang kuncinya ia buang ke palung paling dalam.
Bandung, 24 April 2019
***