By Dewi Hendrawati Triesnaningtyas
Suzan dan Ratna terus tertawa melihat tingkah Gilang. Sahabat mereka itu memang paling senang melucu di antara mereka, sehingga belajar pun tidak lagi menegangkan.
Sepanjang hari mereka belajar demi menghadapi ujian masuk perguruan tinggi negeri. Otak yang terus dipacu memecahkan latihan soal itu lama kelamaan bisa mengeluarkan asap jika tak ada kekonyolan Gilang di sela-sela waktu belajar.
Di antara mereka bertiga, Ratnalah yang paling pandai. Gadis itu bisa mengajari berbagai hal yang tidak dimengerti oleh Suzan maupun Gilang.
“Gilang, berhentilah bertingkah! Perutku sakit!” pinta Ratna sambil memegang perutnya.
Gilang baru berhenti ketika suara Tante Fi memanggil mereka untuk makan siang.
“Ayo makan dulu!” ajak Tante Fi, ibu Ratna yang selalu mengkhawatirkan mereka. Ia sangat paham anak-anak itu bisa lupa makan jika sudah asyik belajar.
“Terima kasih, Tante,” ujar Gilang.
“Terima kasih untuk apa?”
“Untuk makanannya.”
“Alah, biasa saja. Cuma makan siang saja, kok.”
Tante Fi sangat menyayangi Ratna. Setiap kali Ratna menceritakan barang yang dibelikan Tante Fi kepadanya maka Suzan merasa mual.
“Zan, bagus enggak?” tanya Ratna suatu hari meminta pendapatnya.
Sebuah tas ransel kekinian bertengger di bahunya.
“Bagus banget, Na! Itu memang warna kesukaanmu, bukan?”
“Iya, kamu memang paling paham jika navy adalah warna kesukaanku!” kata Ratna tertawa.
“Iyalah, aku kan sahabatmu!” Suzan tersenyum.
***
“Na, kamu mau daftar ke mana?” tanya Suzan suatu hari.
“Kedokteran Universitas Indonesia, Zan! Kalau kamu?”
“Aku juga, Na!” jawab Suzan senang.
“Artinya mulai sekarang kita harus belajar lebih giat lagi!”
“Aku belajar sama kamu ya, Na. Aku kan, enggak pintar!” Suzan menunduk dengan wajah muram.
“Iya, tenang aja! Oh ya, ini dari Mama!” kata Ratna sambil menyerahkan sebuah buku. “Kemarin mama memintaku membelikan satu untukmu!” jelas Ratna seraya memberikan sebuah buku kepada Suzan.
“Apa ini?”
“Buku latihan soal ujian masuk kedokteran!”
***
Tibalah hari pengumuman ujian masuk perguruan tinggi. Ratna menangis saat mengetahui namanya tak lolos di FKUI. Nasib Gilang tidak jauh berbeda dengan Ratna. Suzan hanya bisa menyemangati dan menguatkan mereka. Ia tidak menyangka jika Ratna dan Gilang yang lebih pandai darinya tidak lolos di FKUI.
“Sabar ya, Na. Insyaallah kamu bisa coba lagi tahun depan!” kata Suzan melalui telepon.
Suzan kembali teringat ketika Ratna senantiasa memberi semangat pada dirinya yang tidak begitu pintar.
“Tenanglah. Kamu ke rumahku saja. Nanti kuajari mana yang tidak kamu pahami!” kata Ratna menyejukkan hati Suzan.
Ratna memang memiliki segalanya. Kecantikan, kekayaan, dan kasih sayang orang tua yang melimpah. Ia juga perhatian pada Suzan, sahabatnya.
Berbeda dengan Suzan yang sejak kecil tinggal bersama seorang ayah yang pemarah, ibu tiri yang tidak peduli, termasuk uang jajan yang pas-pasan. Bahkan ketika ia meminta didaftarkan di sebuah bimbingan belajar pun, kedua orang tuanya menolak.
“Belajar saja sendiri di rumah! Lebih baik uangnya ditabung untuk kuliah!” kata Tante Diana, ibu tirinya.
Beruntung Tante Diana masih mengizinkan Suzan belajar kelompok di rumah Ratna.
***
Suzan tertawa puas, sorot mata penuh kemenangan tampak jelas tiap kali ia melihat nomor ujian, pas photo dan namanya terpampang di layar ponsel.
“Selamat, anda di terima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia!”
DHT
#ajangfikminjoeraganartikel2021
#Day3
#Persaingan
Editor : Rizky Amalia Eshy