Joeragan artikel

Senyum Bu Tina

Tina meninggalkan ruang kepala sekolah dengan wajah tegang. Tersirat jelas kekesalan dan kekecewaan di roman wajahnya.

Perempuan sederhana yang murah senyum itu bergegas menuju musala sekolah, mengambil air wudu, dan duduk bersimpuh di atas sajadah.

Segera kususul dia untuk menanyakan kejadian yang menimpanya secara langsung. Aku tidak mau berprasangka tentang apa yang baru saja terjadi di ruang kepala sekolah tadi.

“Maaf, Tin. Bolehkah aku tahu apa yang terjadi?” tanyaku hati-hati setelah duduk di sebelahnya.

Ya, Allah! Ternyata perempuan anggun itu sedang menangis. Kurengkuh bahunya yang berguncang-guncang ke dalam pelukan.

“Kamu nggak pa-pa? Kamu baik-baik saja, ‘kan?” Tina menggelengkan kepalanya. Sungguh, aku memang mencemaskan keadaannya yang terpuruk. Dengan suara terisak-isak, Tina bercerita.

Dia dipanggil kepala sekolah terkait berita yang sedang santer. Tina dituduh melakukan tindak kekerasan terhadap murid dan akan dilaporkan ke polisi oleh orang tuanya.

“Tunggu sebentar, ya, Tin,” kataku seraya berdiri meninggalkannya untuk membawakan segelas air teh hangat. Kasihan, sepertinya dia benar-benar terpukul dengan kejadian yang dialaminya. Sebuah pengalaman buruk yang tidak akan terlupa.

Peristiwa itu terjadi dua hari yang lalu di kelas lima, antara Tina dengan salah seorang siswanya yang bernama Dio. Ia melempar buku milik Ivan, teman sebangkunya hingga rusak, hanya karena tidak mau disuruh untuk menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung jawab Dio. Tina yang melihat kejadian itu langsung turun tangan dengan menarik lengan Dio yang sedang melempar-lempar buku milik Ivan. Banyak anak yang menyaksikan peristiwa itu.

Ternyata Dio tidak terima dengan sikap Tina dan mengadu kepada orang tuanya. Entah apa dan bagaimana anak itu bercerita, yang pasti telah beredar kabar bahwa Bu Guru Tina melakukan penganiayaan terhadap Dio.

Lalu orang tua Dio melaporkan Tina ke kepala sekolah untuk ditindaklanjuti. Tina akan dilaporkan ke polisi jika tidak mau meminta maaf kepada Dio dan kedua orang tua serta harus mengakui kesalahannya di muka umum.

Sayang sekali, kepala sekolah tidak bijaksana dalam menyikapi masalah tersebut. Bukannya melakukan klarifikasi dan mencari kebenarannya, tetapi malah menyudutkan Tina.

“Ceritakan masalah yang sebenarnya. Kalau perlu, temui orang tua Dio untuk klarifikasi,” saranku bersemangat.

“Bagaimana dengan sikap kepala sekolah yang tidak mau mendengar penjelasanku?” tanyanya gundah.

Bagaimana cara meyakinkan kepala sekolah agar mau meninjau ulang permasalahan Tina dan tidak terprovokasi? Aku jadi bingung memikirkan solusi terbaik bagi Tina. Tolong kami, Ya Allah.

“Minumlah dulu, Tin, biar tenang,” saranku saat menghampirinya kembali dan menyodorkan gelas berisi air teh ke hadapannya.

“Terima kasih, Sin,” ujarnya setelah meneguk minuman hangat itu. Tina menoleh ke arahku dan mencoba tersenyum, meskipun tampak getir.

“Aku siap menyimak jika kamu mau berbagi denganku, Tin. Jangan sungkan, ya,” ucapku berusaha untuk membuatnya nyaman. Tina mengambil napas dalam dan menganggukkan kepala.

“Kemungkinan aku akan mengajukan mutasi,” gumamnya lirih, tetapi terdengar jelas. Aku sangat terkejut. Kupandangi dengan seksama wajah teman sekelasku waktu sekolah di SPG itu.

“Aku nggak salah dengar, Tin? Apakah sudah kaupertimbangkan baik-baik ide itu? Jangan terburu emosi, lo,” cecarku penasaran. Tina diam saja sembari memainkan gelas yang ada di tangannya.

***

Selepas istirahat siang, aku kembali menemui Tina yang sekarang sedang bertugas di perpustakaan.

“Kamu harus bisa membuktikan bahwa semua tuduhan itu hanya fitnah belaka. Jangan terpengaruh isu-isu yang berkembang. Fokus saja

Tiba-tiba datang dua orang siswa yang ingin bertemu denganku.

“Bu Sinta, kami atas nama kelas 5B mau membuat surat pernyataan mendukung Bu Tina, tetapi tidak tahu caranya. Kami mau minta tolong kepada Ibu untuk membuatkan surat itu lalu ditandatangani oleh teman-teman sekelas. Bu Tina tidak bersalah, Dio yang salah. Kami semua siap menjadi saksi. Selama ini, Dio juga sering membuat onar di kelas,” kata salah satu siswa itu yang dibenarkan oleh temannya.

Alhamdulillah, aku bersyukur karena telah datang pertolongan Allah yang tak terduga. Kedatangan dua murid kelas 5B ke perpustakaan adalah bukti tangan Tuhan. Aku segera menghadap ke kepala sekolah bersama kedua anak itu.

Setelah beradu argumentasi akhirnya kepala sekolah mau mendengarkan klarifikasi dari anak-anak itu tentang kronologis kejadiannya dan meminta maaf kepada Tina. Besok, rencananya Dio dan kedua orang tuanya akan dipanggil ke sekolah.

“Terima kasih, Sin. Kamu telah menolongku,” ucap Tina dengan wajah yang kembali semringah. Bara semangat terpancar di binar matanya.

“Sama-sama, Tin. Sudah semestinya aku membantumu. Bukankah kita harus saling menguatkan untuk tetap istikamah mendidik anak bangsa?” ucapku membalas senyumnya yang terkembang.

“Jangan lupa berterima kasih kepada anak-anak di kelas. Merekalah penolongmu yang sesungguhnya. Tanpa kejujuran dan keberanian mereka, mungkin saat ini kita masih pusing memikirkan jalan keluarnya,” nasihatku pada Tina, mengingat jasa anak-anak kelas 5B.

Tina memelukku erat dan berjanji akan berterima kasih kepada para siswa yang telah membelanya.

Aku senang melihat Tina kembali tersenyum. Senyum yang memberi kekuatan untuk mampu mengantarkan anak-anak didik menuju masa depan yang gemilang. Semoga.

Bandung, 25 September 2019

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami