Joeragan artikel

Selamat Tinggal, Al

[Selamat Malam, Ra. Apa kabar?]

Tiba-tiba ada pesan masuk di inbox dari Malik Alhadi. Al?

Rasa penasaran mengajakku berselancar mencari informasi tentang nama itu. Ada sesuatu yang mengusik ketenangan jiwaku dan minta dituntaskan, tetapi aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan. Apakah dia benar-benar Al?

Di profilnya tidak ada foto diri yang ditampilkan. Hanya foto sebuah lukisan abstrak dan gitar klasik yang apik. Tidak ada yang lain.

Benda berdawai itu mengingatkanku pada hari-hari bersama Al. Pemuda asal Pulau Borneo yang kuliah di Jurusan Seni Rupa Murni. Kami berkenalan saat pameran lukisan di galeri kampus. Aku memang tidak satu jurusan dengannya, tetapi aku suka melukis.

Al punya sebuah gitar klasik yang dulu menemaniku hampir setiap hari hingga mengantarkanku menjadi penulis lagu. Ya, gitar itu.

Namun, aku ragu. Apakah benar gitar itu yang kumaksud? Jangan-jangan itu hanya gitar yang serupa saja. Bisa jadi, ‘kan? Kuhela napas sejenak untuk menetralisir suasana hati yang mulai gelisah.

Lalu, bagaimana dengan lukisan abstrak di sampingnya? Apakah aku juga akan mengingkari? Rasanya, tidak mungkin hal itu kulakukan. Goresan cat itu, hasil lukisan tanganku di kanvas. Aku tahu betul lukisan itu, seperti halnya mengenal detail Al yang meninggalkanku dulu.

***

Entah, bagaimana awalnya aku agak lupa, yang pasti kami sepakat untuk jadian.

“Ajari aku main gitar, dong, Al,” kataku kepada Al yang saat itu tengah asyik melukis di studio kecilnya.

“Buat apa belajar gitar? Kenapa bukan kemampuan melukismu yang diasah?” tanya Al tanpa menoleh sedikit pun.

“Pengin bisa aja. Aku sudah lama pengin bisa bermain gitar, Al. Kayaknya asyik, lihat teman-teman yang bisa main gitar,” jawabku setengah merajuk.

Kamu tergelak, seraya menggelengkan kepala memandangku.

“Baiklah, Tuan Putri. Hamba siap melayani, Paduka,” kelakar Al sembari membungkukkan badannya seperti seorang pelayan.

Al menepati janjinya, mengajariku bermain gitar setiap kali ada kesempatan. Ia melatihku dengan telaten, bagaimana cara memainkan senar-senar ajaib dan membuat lagu. Hari-hari berjalan begitu indah hingga tibalah saat wisuda yang tidak pernah kulupa.

Sore itu, aku datang ke studio Al untuk belajar gitar dan membantunya menyiapkan acara wisuda. Ada yang berbeda. Studio itu tampak lebih rapi dari biasanya. Aku tersenyum simpul melihatnya.

“Orang tuaku akan datang ke sini, Ra,” kata Al menjelaskan.

“Oh, ya? Aku bisa berkenalan dong, dengan mereka?” tanyaku bersemangat.

“Semoga ya, Ra,” jawab Al, terdengar aneh di telingaku.

***

Hari wisuda itu tiba. Aku akan datang mengucapkan selamat sekaligus berkenalan dengan orang tuanya karena ketika Al memberi kabar orang tuanya sudah datang, aku tidak bisa menemui mereka. Ada tugas kelompok yang harus segera kuselesaikan.

Aku menunggu Al dengan membawa sebuah buket cantik di tangan, sampai prosesi wisuda selesai. Nervous rasanya membayangkan bakal ketemu orang tua Al.

Akhirnya acara prosesi itu pun selesai. Aku segera menghampiri Al yang tampak sibuk berfoto dengan teman-temannya.

“Selamat, ya, Al!” ucapku menyalami dan menyenyuminya sambil menyerahkan buket cantik yang telah kupersiapkan.

“Terima kasih, Ra,” sahut Al terlihat gugup. Tampak jelas geriknya yang kikuk saat menerima bunga itu dan bersalaman. Sangat biasa seolah bukan sesuatu yang istimewa. Senyumnya pun juga biasa.

“Eh, iya. Kenalin, Ra, ini Papa dan Mama,” kata Al, saat sepasang suami istri menghampirinya dengan gembira. Kuulurkan tangan menyambut mereka dengan hangat dan memberikan senyum terindah. Kuabaikan perasaan canggung dan gemuruh yang bergejolak di dada.

“Rara,” ucapku mengenalkan diri.

“Kenalkan juga ini, Jingga,” kata Al menggandeng tangan seorang gadis yang berdiri di samping mamanya.

“Adikmu?” tanyaku spontan.

“Dia tunangan, Al, Nak,” jawab Mama Al dengan senyum penuh arti.

Bagai disambar petir aku mendengarnya. Dia tunangan Al? Kenapa Al tidak pernah membicarakannya padaku? Lalu, bagaimana dengan hubungan kami selama ini? Aku segera pamit dan berlalu dari hadapan mereka membawa luka yang menganga.

***

Kubiarkan butiran bening yang mulai membasahi pipi.

[Ra, apakah kamu masih di situ? Aku mau minta maaf, sudah menyakitimu saat itu. Aku tidak ada pilihan lain, kecuali menjalani pernikahan dengan calon menantu yang disiapkan Mama.]

[Nggak pa-pa, Al. Kamu berhak memilih dan memutuskan, kok. Apalagi demi orang tua.]

[Terima kasih, jika kamu bisa mengerti. Kamu, kapan menikah?]

[Lima tahun setelah kamu pergi, aku dilamar seseorang.]

Aku memang pernah dilamar, tetapi kutolak karena ada hal yang tidak nyaman.

[Syukurlah. Aku ikut senang. Aku kangen banget, Ra.]

Aku pun sebenarnya merindukan sosoknya hadir kembali di hari-hariku. Namun, bagaimana mungkin aku bisa melakukannya? Meskipun aku belum menikah sampai sekarang.

Aku tahu dari salah satu temannya, kalau Al belum punya momongan. Istrinya divonis tidak bisa memberi keturunan.

[Sudahlah, Al. Lupakan masa lalu. Jalani saja kenyataan hidup kita dengan ikhlas. Aku doakan, semoga kalian bahagia.]

[Terima kasih, Ra. Semoga kamu juga bahagia.]

[Aamiin.]

Selamat tinggal, Al! Perjalananku masih panjang, menyongsong masa depan.

Bandung, 19 September 2019

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami