Entah berapa lama aku tidak bertemu Ryo. Yang pasti sudah lebih dari setahun. Oh, tidak! Tepatnya dua kali lebaran.
Sejak Ryo diterima kuliah di jurusan Teknik Sipil Universitas Udayana tiga tahun yang lalu, sementara aku meneruskan aktivitas sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta ternama di Jakarta, praktis hubunganku menjadi terhalang oleh terbentangnya jarak dan waktu.
Dulu, aku sempat menghitung berlalunya hari dengan menandai angka-angka di kalender meja. Namun, itu tidak berlangsung lama karena aku tidak mau berkubang di pusaran rasa rindu, dan terjebak pada arus sepi yang kian menderu.
Biarlah semuanya berjalan tanpa gurat kesepian. Bersama setumpuk aktivitas yang sengaja kuciptakan untuk mengisi kekosongan, dan menepis kegelisahan tatkala sendiri.
Gawai yang kuletakkan di depan TV bergetar. Ada pesan WhatsApp yang masuk. Ryo.
[Hai, Yayang Firda! Besok pagi jemput aku di bandara, ya. Insyaallah sekitar jam sembilan sudah tiba. Nggak usah banyak nanya, kita ketemu besok. Aku prepare sekarang. Miss you!]
Ya, Allah! Dadaku berdegup lebih kencang. Tubuh terasa meriang menikmati desir indah yang sekian lama terpendam. Bibir ini tersenyum menyaksikan dunia di sekitarku berubah menjadi taman bunga dalam pandangan mata.
***
“Permen, Mbak? Maaf, Mbak ini mau menjemput atau berangkat?” tanya seorang ibu di sebelah kiriku tersenyum sambil menyodorkan sebungkus permen kopiko. Aku mengambil sebutir lalu membuka dan mengulumnya.
“Terima kasih. Saya sedang menjemput. Bagaimana dengan Ibu?” jawabku balik bertanya.
“Saya juga mau menjemput anak saya, Mbak. Katanya sekitar jam sembilan sudah sampai,” paparnya seraya memperlihatkan sebuah foto yang tidak asing bagiku. Ryo?!
“Maaf, ini foto siapa, Bu? Apakah anak, Ibu?” tanyaku penasaran. Aku tidak mau jika main terka saja karena bisa-bisa salah orang.
“Iya, Mbak. Namanya Ryo Pradana, kuliah di Universitas Udayana.” Ibu itu menjelaskan tentang anaknya yang tak lain dan tak bukan memang Ryoku.
Tiba-tiba terdengar nada riuh rendah dari arah dalam. Orang-orang tampak gaduh membicarakan kecelakaan pesawat. Hatiku mendadak merasa sangat cemas. Dengan setengah berlari segera kuhampiri salah satu petugas yang baru saja keluar.
“Permisi, Pak. Katanya ada kecelakaan, benarkah? Penerbangan yang mana? Apa yang terjadi?” tanyaku beruntun seperti orang menginterogasi.
“Iya, Mbak. Benar. Penerbangan JT-043, Bali-Jakarta. Pesawat Lion Air JT-610 jatuh di perairan Bali,” paparnya dengan raut muka tegang.
Tubuhku seketika lunglai seolah kehilangan energi. Wajah Ryo dan seorang ibu yang baru dikenalnya berputar-putar di kepala.
***
Hari ketiga pasca kejadian insiden jatuhnya pesawat Lion Air JT-610, betul-betul menuntaskan penantianku yang panjang. Ryo diusung dalam peti kayu berwarna putih, diringi isak tangis dan doa orang-orang yang dicintainya. Aku hanya bisa pasrah dan mengikhlaskan segala hal yang menjadi takdir Illahi.
Kini aku benar-benar telah kehilangan Ryo. Seorang teman yang selalu riang bersahaja meskipun aral datang bertubi. Sahabat berbagi suka duka dalam menjalani lakon kehidupan. Kekasih tautan rahsa yang setia merajut harap dan cita bersama.
Tak akan ada nyanyian asa serupa puisi, terkirim di beranda Facebook setiap hari. Tak mungkin lagi ada sapa mesra, canda tawa lewat chattingnya. Semua melesap di lorong gelap paling sunyi.
Ranting muda itu telah patah, menyisakan dedaunan hijau yang layu. Melayang bebas seirama gravitasi, jatuh ke tanah memeluk bumi. Melebur bersama kepergian Ryo menuju kehidupan abadi.
Selamat jalan, Ryoku. I love you.
Bandung, 14 April 2019