Joeragan artikel

Sekolah Tanpa Sistem Ranking

Hai, Smart Ladies. Ketika tiba masa pengambilan rapor, masih adakah teman, kerabat, atau tetangga yang suka bertanya-tanya? “Eh, anaknya dapet ranking berapa?” Saat kita menjawab kalau di sekolah anak-anak tidak memakai sistem ranking, justru akan menambah sederet pertanyaan lain. “Lho, sekolah mahal-mahal kok nggak dapet peringkat di kelas!”

Tidak bisa dimungkiri, kebanyakandari kita masih menilai kecerdasan seseorang itu dari angka yang tertera di buku rapor atau transkrip nilai. Padahal belum tentu anak dengan nilai akademis bagus akan bagus juga aspek non akademisnya. Beberapa anak yang nilai akademisnya kurang bagus, justru sangat menonjol di aspek non akademis.

Semua sistem pasti ada plus minusnya, ya. Ladies, saya ingin berbagi sedikit pengalaman tentang sisi positif yang bisa diambil dari sekolah yang tidak mencantumkan peringkat nilai siswanya. Kebetulan sekolahnya anak-anak saya tidak memakai sistem ranking. Termasuk sekolah pionir penyelenggara K13 dan sekarang  mulai menerapkan Kurikulum Merdeka.

Apakah para siswanya menjadi malas karena tidak ada kompetisi? Tidak, tentunya. Mereka tetap belajar dengan baik. Seluruh siswa diberi pengertian bahwa kegiatan belajar bertujuan meningkatkan kemampuan, bukan untuk mengejar peringkat kelas. Sekolah ini fokus kemampuan yang dimiliki anak di setiap jenjang. Ini bisa membantu orang tua mendeteksi minat bakat anak sejak dini.

Sebagai ganti sistem peringkat, sekolah memberikan apresiasi kepada siswa yang berprestasi dalam bentuk sertifikat “The Best Student”. Hanya saja, selama masa pandemi, penghargaan ditiadakan karena pembelajaran dilakukan secara online sehingga guru tidak bisa menilai secara langsung seperti saat tatap muka. Jadi, anak kedua saya dan teman-teman sekelasnya belum pernah merasakan mendapat sertifikat “The Best Student”.

Bagaimana konsep “The Best Student”? Jadi kategori siswa terbaik itu tidak hanya dilihat dari kemampuan akademik, seperti The Best Math, The Best Eglish, The Best Science. Namun, ada kategori lain seperti misalnya The Best Recite Qur’an, The Best Behavior, dan lainnya sesuai dengan kemampuan menonjol yang dimiliki masing-masing peserta didik.

Di samping itu, sekolah tersebut juga memiliki nilai plus lain, yaitu menerima siswa ABK, dengan catatan ada dukungan dari psikolog tentunya. Jadi, anak-anak belajar berempati dan tidak memandang aneh pada temannya yang “berbeda”. Mereka belajar di kelas dan menggunakan kurikulum yang sama. Belajar empati ini penting karena kadang kita lupa jika hal tersebut perlu diajarkan sejak dini kepada anak.

Kelebihan lain dari tidak diterapkannya sistem ranking adalah peserta didik akan terbiasa lebih menghargai proses daripada sekadar mengejar hasil. Pasalnya, anak-anak diberi kesempatan untuk mengembangkan cara belajar mereka sesuai potensi masing-masing. Mereka dibiasakan mengenal diri sendiri sejak dini sehingga menyadari kekurangan serta kelebihan masing-masing agar dapat  memaksimalkan potensi yang dimiliki.

Bagaimana dengan Smar Ladies, apakah masih mementingkan peringkat nilai?

 

Editor : Sri Sekartadji

#maratonmenulisartikel

#joeraganartikel

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami