“Kamu enggak kangen padaku, ya?” tanyamu pelan setengah berbisik seraya melempar kerling jenaka yang menggoda.
Ada semburat merah di kedua pipimu, walau sedikit berkabut. Aku tak segera menjawab karena ingin menikmati desir indah yang mengalir dari dasar hati.
“Hei! Ditanya kok diam saja malah senyam-senyum. Jawab dong, Fris.” Suaramu mulai terdengar parau bagai pita kaset yang usang karena sudah diputar ulang dalam waktu lama.
Aku tahu, sebenarnya kamu pun menyembunyikan gejolak perasaan yang tiba-tiba menyerang.
Kubaca dari guratan di wajahmu ada selaksa keraguan yang menyelimuti. Ya, tentu saja. Kita telah terpisah dua puluh tahun lamanya. Bukan waktu yang pendek dan bukan pula jarak yang dekat. Jarak dan waktu itu telah membuat sekat yang nyata.
Mataku terpejam menghirup udara dalam-dalam melalui hidung dan mengembuskannya lewat mulut secara perlahan. Kunikmati setiap rasa yang hadir dan gejolak rindu yang sudah lama terpendam yang kini mencuat begitu saja tanpa bisa dicegah. Aku ingin berlama-lama menyaksikan setiap detik tatapanmu yang mampu membuatku jauh meninggalkan logika.
Aku sedang tak ingin bicara apa pun saat ini. Biarkan saja kunikmati tetes demi tetes air mata syukur yang menyejukkan pipiku dan mengelus lembut batin setelah sekian lama terasa kering. Sepertinya aku tak membutuhkan kata-kata untuk bercakap denganmu. Cukup dengan diam dan tatapan telah mampu bercerita banyak hal, tentang episode perjalanan panjang yang terabaikan dan terlupakan.
“Fin, bolehkah aku memelukmu?” tanyaku di tengah gelombang keraguan yang menyerang.
Aku tak ingin merusak pertemuan ini dengan sikapku yang mungkin saja dianggapnya konyol. Lagi-lagi senyum tulus menghias kedua sudut bibirmu dan bola matamu yang menyejukkan itu memandangku berkaca-kaca.
“Lakukanlah,” bisikmu dengan bibir bergetar dan anggukan. Bahasa tubuhmu mengisyaratkan keletihan dan pasrah mencari sandaran.
“Oh, Finnaku,” ucapku seraya merengkuhmu ke dalam pelukan. Aroma parfummu yang masih sama seperti dulu, mengelus lembut rinduku yang telah membeku. Mengisi kembali rongga-rongga udara dalam darah di sekujur tubuh.
Untuk beberapa saat lamanya, aku dan kamu tenggelam dalam gelombang rindu yang menghantam. Seluruh perasaan yang sekian lama terpendam mengalir di antara isak tangis yang tak mampu lagi tertahan.
Tiba-tiba kamu terhenyak dan terlonjak kaget, seolah kena aliran listrik. Aku juga ikut terkejut dan tersadar dari buaian tipu daya setan yang hampir melenakan. Astagfirullah! Ampuni kami, Tuhan.
“Maaf,” gumamku lirih menyatakan penyesalan atas apa yang baru saja kulakukan.
Beberapa lembar tisu kusodorkan untuk menyeka air matamu. Kepalamu mengangguk-angguk kecil menjawab permintaan maafku, sedangkan mataku tak sanggup beringsut dari sosokmu.
‘Mengapa Tuhan mempertemukan kita kembali?’ batinku mencoba mencari jawaban lewat skenario-Nya.
Kehilanganmu adalah satu hal yang menyakitkan. Tak mudah untuk bangkit dan menyadari ketiadaan itu. Perlu waktu yang sangat panjang untuk bisa mengubur namamu di dasar hati dan menganggap semua tak pernah terjadi. Bagaimana mungkin aku melupakanmu? Kau yang setiap hari ingin kutemui dan kusapa sebelum orang lain. Kau yang rela memasak setiap hari dan menyiapkan menu sahur serta buka puasa. Kau juga yang merawatku selama sakit saat jauh dari sanak saudara.
“Aku divorced tiga tahun yang lalu,” ucapmu pelan sambil menunduk muram. Senyum yang tadi semringah mendadak meredup dan hilang. Terlintas lagi perjodohanmu yang saat itu harus kauterima dengan lapang dada.
“Maaf, aku turut prihatin. Kenapa sampai berpisah? Bagaimana dengan anak-anak kalian?” tanyaku diliputi rasa penasaran. Di hati sebelah sana kulihat ada ruang rahasia yang sengaja kaututup.
“Nggak pa-pa, Fris. Mungkin memang sudah menjadi takdirku. Aku sudah ikhlas menjalaninya, kok. Lupakan saja tentang aku,” jawabmu dengan tersenyum. Senyum yang akan kukenang selama hidup.
Aku tidak tahu skenario Tuhan untukku. Yang pasti aku tak pernah berniat menduakan Elyana, apalagi mengkhianatinya. Tidak! Bahkan, hari ini pun semua terjadi begitu saja di luar rencana. Memang, jika mengikuti keinginan semata, saat inilah kesempatanku bisa hidup bersamamu, satu-satunya gadis yang pernah mampu membuatku merasa membutuhkan dan dibutuhkan.
Kamulah perempuan pertama yang membuatku jatuh cinta dan ingin menikah. Gadis yang membuatku melanglang dunia hanya untuk kembali bersama, yang dari rahimmu kuharap akan lahir anak-anakku. Gadis yang menghilang setelah aku menitipkan rindu kebersamaan di usia senja nanti.
Masih kuingat saat aku menjalani hari-hari dengan ceria dan semangat membara untuk mewujudkan mimpi dan cita-cita. Aku ingin sekali mengajakmu keliling dunia berdua agar bisa menikmati senyumanmu yang membuat hati damai. Hingga badai menghempaskan perahu yang kurakit dan melemparkanku ke tengah lautan, sedangkan kau entah terdampar di pulau mana terbawa topan.
Tak bisa kumungkiri, rasaku tak sedikit pun berubah, bahkan telah mengakar. Akan tetapi, aku juga sadar bahwa cinta ini tak mungkin bersatu. Ada Elyana, istriku, dan dua jagoan junior yang menanti di rumah. Mereka adalah keluarga yang harus kujaga hingga akhir masa sebagai bentuk tanggung jawab kepada Allah, Tuhanku. Aku tak mungkin memaksakan sesuatu yang akan melukai hati mereka, meskipun itu bagian dari kebahagiaanku.
Bandung, 08 Oktober 2019
***