Oleh Nita Yunsa
Sudah tiga hari Ajijah tinggal di kontrakanku. Gadis konyol dan agak lemot itu adalah tetangga di kampung sekaligus teman sejak kecilku. Dia baru di PHK karena pandemi membuat produksi barang di pabriknya menurun. Menipisnya uang untuk membayar sewa kontrakan, membuat Ajijah menumpang di kontrakanku hingga berhasil mendapatkan pekerjaan.
Minggu pagi, Cerriโyang tinggal di kontrakan sebelahโsudah mengetuk pintu. Kami berencana pergi joging ke taman kota. Tak lupa, kubangunkan Ajijah untuk mengajaknya berolahraga bersama kami.
“Ndak ah, Beb. Aku masih ngantuk. Kalian joging aja tanpa aku,” ucap Ajijah, dengan mata masih terpejam, lalu menarik guling dan memeluknya erat-erat.
“Ya sudah, tapi nanti jangan lupa masak nasi buat sarapan ya, Jah. Lauknya biar gue yang beli di luar,” pesanku kepada Ajijah sambil menggunakan kaos kaki.
Setelah lelah berjoging hingga pakaian kami basah karena peluh, aku membeli lauk di pasar yang tak jauh dari taman kota. Sementara itu, Cerri memesan ketoprak tepat di sebelah aku membeli lauk.
“Lu deket banget sama Ijah ya, Re? Sampe dia manggil lu dengan sebutan beb segala,” tanya Cerri yang duduk di sebelahku, menanti pedagang ketoprak selesai melayani pesanannya.
“Jangan salah, Cer. Beb itu bukan bebeb, panggilan sayang yang sering dipakai antara sahabat sejati. Dia manggil beb aslinya ngeledek tahu,” gerutuku.
Cerri mengerutkan kening. Mulutnya membuka seperti hendak bicara, tetapi pedagang ketoprak yang sudah selesai membungkus pesanan Cerri membuat dia sontak berdiri dan aku segera mengajaknya pulang.
Sesampainya di kontrakan, aku segera mengambil piring untuk sarapan kami. Ajijah dengan sigap membantu membawa nasi dan bakwan yang sudah dimasaknya, meski aku tidak tahu dari mana gadis itu mendapatkan bahan untuk memasak bakwan. Kami akhirnya sarapan bertiga. Aku dan Ajijah makan nasi dengan lauk pepesan ayam, bakwan, dan sayur asam. Sementara itu, Cerri sarapan dengan seporsi ketoprak.
Ketika tengah mengunyah nasi dengan lauknya, tekstur aneh memenuhi rongga mulutku. Aku sontak protes pada Ajijah. “Ijah! Ini nasi kok keras banget begini. Lu masaknya gimana sih? Lu kasih airnya dikit, ya?”
“Habisnya gelas takar buat masak nasinya ndak ada, Beb. Aku ndak biasa masak nasi pakai air seukuran ujung jari telunjuk kayak kamu,” timpal Ajijah membela diri.
“Terus gimana dong? Dimasak lagi tambah air, bakal lama ini. Mana perut gue udah laper banget lagi abis olahraga,” keluhku. “Nasi apa begini? Ini sih nasi buat makan unggas.” Aku menggeserkan piring menjauh.
“Pas dong, Beb. Bebek ya makannya nasi keras,” kelakar Ajijah.
Saat masih kecil, aku sering diledek teman-teman dengan sebutan bebek karena setiap makan selalu berantakan. Itulah sebabnya Ajijah sampai sekarang memanggilku beb, bebek. Padahal kebiasan buruk saat kecil itu sudah hilang dari diriku.
Kini Ajijah dan Cerri asyik membicarakan masa laluku. Sementara itu, aku yang terlanjur sebal dan tak nafsu makan, mengambil bakwan buatan Ajijah untuk mengganjal perut ini.
“Ini kok bakwan rasanya gini banget, Jah,” keluhku disela mengunyah bakwan yang teksturnya sangat kenyal.
“Kenapa lagi, Beb? Tadi aku lihat ada sisa terigu dan kol, daripada busuk mending aku goreng jadi bakwan.”
“Aduh, Ijah! Itu bukan terigu, tapi tepung kanji. Ini mah namanya cireng sayur, bukan bakwan.” Aku menepuk dahi atas kekonyolan Ajijah yang membuat sarapan hari ini ambyar, sedangkan gadis itu hanya nyengir tak berdosa.
Indramayu, 12 Juli 2021
Penulis : Nita Yunsa
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day5
#TemaMemasak
Editor : Fitri Junita