Oleh: Haryati Hs.
Aku dihadiahkan kepada Dudung setelah ia menyempurnakan kesaktiannya. Di padepokan ki Ahmad, Dudung telah digembleng untuk membela yang lemah.
Malam itu, Dudung membawaku untuk memulai tugasnya. Sasarannya adalah dua mahasiswa pelaku perundungan. Mereka telah menyebabkan beberapa temannya melakukan upaya bunuh diri.
“Hal seperti itu tidak bisa dibiarkan,” kata Dudung kepadaku di tengah perjalanan. Sesekali Dudung mengelus sarungku, kemudian meraba ukiran di gagangku.
Kami tiba di atap kampus sesaat sebelum Irwan dan Edo, sasaran kami, tiba. Dari tempat yang cukup tersembunyi, kami mengamati mereka.
“Do, kita harus berhenti melakukan perundungan,” kata Irwan dengan nada takut.
“Kenapa?!” bentak Edo gusar.
“Darah, Do! Ada kertas berlumur darah yang berisi ancaman di pintu kamarku!” seru Irwan dengan mata membelalak.
“Pengecut, kamu!” bentak Edo lagi. “Mana ada orang yang berani melawan kita!”
Tiba-tiba Irwan menjerit. Sedangkan Edo ternganga ketika sebilah pisau melesat dan menancap di pintu gudang, di belakang mereka. Aku tersenyum melihat tindakan Dudung.
Setelah dapat menguasai diri, Edo mencabut pisau itu. Pada gagangnya diikatkan lipatan kertas yang bertuliskan ‘Menyerahkan diri atau mati!’. Pada lembar kertas itu pun terdapat percikan darah.
Dengan marah, Edo meremas kertas itu. Pandangannya melihat ke segala arah, mencari sang pengancam.
“Kita harus berhenti, Do! Ada yang balas dendam kepada kita!” Irwan berusaha meyakinkan Edo dengan suara gemetar.
“Diam, kamu, Irwan!” Bentakan Edo semakin keras.
“Siapa, kamu?!” teriak Edo kemudian ke arahku dan Dudung.
Kulihat Dudung tetap tenang. Ia mengelus lekukan tubuhku. Aku merasa, kali ini adalah saatku untuk beraksi. Aku pun mempersiapkan diri.
Dengan khidmat, Dudung mulai membaca doa-doa. Tubuhku terangkat, lalu melesat diiringi kelebat sinar dari telapak tangan Dudung. Aku meluncur menuju tempat Edo berdiri.
Melihatku menghampiri mereka, Irwan panik dan terjatuh ke lantai. Sedangkan Edo tetap berdiri menghadangku sambil menghalangi kilau cahaya yang menyertaiku dengan tangannya.
Namun, sebelum aku sampai pada sasaranku, Dudung menyuruhku berhenti. Aku pun berhenti di udara dengan mata runcingku mengarah ke mata Edo. Pemuda kasar itu pun terbelalak menatapku dengan muka pucat.
“Apakah kalian tetap tidak mau bertobat?” tanya Dudung yang sudah berdiri di belakangku. Suaranya tenang, tapi mengancam.
“Si … Siapa … kamu?” Edo mengulang pertanyaannya dengan tergagap. “Mengapa ikut campur dengan urusan kami?”
“Aku adalah perwakilan para korban yang menuntut balas pada kalian,” sahut Dudung seraya menggapaiku dari udara, lalu menggenggamku.
Melihat kesempatan untuk melarikan diri, Edo menyerang Dudung dengan pisau yang ia cabut dari pintu gudang. Ia kemudian berusaha lari. Namun, dengan secepat kilat, Dudung melemparkanku ke arah kakinya. Edo pun jatuh tersungkur dengan darah mengucur di kakinya.
Dudung menghampiri Edo yang bersusah payah bangkit dan berjalan terseok. Edo berhasil mencabutku dari kakinya, lalu ia melemparku ke arah Dudung. Dengan tenang, Dudung menangkapku.
“Jangan mendekat! Kamu bukan manusia!” teriak Edo histeris.
“Aku adalah hukumanmu. Jika kau menyerahkan diri dan bertobat, maka aku akan mengampunimu,” jawab Dudung dengan suara dingin.
Aku yakin, setelah merasakan sakitnya tertancap mata tajamku, Edo akan bertobat. Namun, ternyata aku salah. Edo lebih memilih melompat dari atap gedung berlantai lima itu. Sementara, dengan kesaktiannya, Dudung membuat Irwan menyerahkan diri kepada polisi dan melupakan kejadian di atap kampus tersebut.
Editor : Ruvianty
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day19
#temaakusebagaibenda
#genrethriller