Joeragan artikel

Saksi Bisu [Haryati Hs./Canva]

Saksi Bisu

Oleh: Haryati Hs.

Hari itu, seperti biasa Kadita langsung meraih dan memelukku yang terbaring di tempat tidurnya. Dengan mata berbinar, ia menatapku sesaat sebelum membenamkan wajahnya di wajahku, seolah ingin menyembunyikan tawa bahagianya.

“Kau tahu, Ted? Hari ini aku begitu gembira.” Kadita mulai bercerita, setelah mengangkat wajahnya.

Ia memegangi kedua lengan atasku dengan lembut.

“Setelah sekian lama, akhirnya Mas Pramono menyampaikan keinginannya untuk berbicara serius tentang hubungan kami malam ini,” lanjutnya dengan pipi memerah.

Tak dihiraukannya pakaian kerja yang masih melekat di tubuhnya, serta high heels yang ia lepaskan dan tergeletak begitu saja di depan lemari pakaian. Hingga saat ini, aku masih saja heran dengan sikap kekanak-kanakannya itu.

“Dengar, Ted! Kau harus memberiku saran. Gaun mana yang cocok kupakai nanti malam?” Senyum Kadita makin lebar ketika menanyakan hal itu.

Kadita membaringkanku kembali di kasur. Kemudian ia turun dari tempat tidur dan berjalan menuju lemari pakaian. Digesernya high heels sebelum ia membuka lemari dan mulai memilih gaun.

Aku memandangi tingkah Kadita yang bersemangat itu dari tempatku. Sesekali ia meminta pendapatku, warna apa yang cocok atau apakah ia harus mengenakan gaun panjang atau gaun selutut supaya terlihat anggun.

Untunglah dering telepon genggamnya menghentikan pertanyaan-pertanyaan lain yang akan ia ajukan kepadaku.

Kadita meraih tas tangan yang tergeletak di sampingku, lalu mengambil telepon seluler dari dalamnya. Suara riang gadis itu terdengar semakin antusias ketika berbicara di telepon. Usai melakukan percakapan jarak jauh itu, Kadita melirik jam mungil di pergelangan tangannya, kemudian ia panik menyadari waktu yang semakin mendekati senja.

“Teddy, aku harus bergegas!” teriaknya seraya berlari ke kamar mandi setelah melemparkan telepon selulernya ke sampingku.

***

Baru satu setengah jam yang lalu Kadita dijemput oleh Pramono dan pergi ke tempat spesial untuk membicarakan keseriusan hubungan mereka.

Aku baru hendak membayangkan kebahagiaan tak terhingga yang akan dirasakan Kadita malam ini, ketika mendadak pintu kamar dibuka dengan kasar. Aku terkejut. Apa lagi saat melihat Kadita masuk dengan setengah berlari dengan berurai air mata.

Kadita menghampiriku, menarikku dengan kasar, dan mengguncang-guncang tubuhku dengan keras.

“Keterlaluan!” teriak Kadita di sela isaknya. “Tega sekali dia melakukan hal itu kepadaku!”

Tubuhku terus diguncang olehnya. Bahkan, beberapa kali Kadita memukul tubuhku dan meninju wajahku. Aku hanya bisa merintih dalam hati.

“Bisa-bisanya Mas Pram mencampakkanku hanya karena ibunya memaksa untuk menikahkannya dengan gadis pilihan!”

Buk … Buk …

Kadita terus memukuliku sambil mengumpati Pramono. Sepertinya ia ingin melampiaskan semua kemarahannya kepadaku. Sampai akhirnya, Kadita mengangkat dan melemparkanku ke arah pintu. Tepat pada saat itu, Pramono muncul dan berdiri di sana dengan wajah bersalahnya.

Menyadari kehadiran Pramono, Kadita makin marah dan berteriak.

“Pergilah dengan gadis pilihan ibumu! Bawa juga bonekaย  pemberianmu itu! Aku tidak membutuhkannya!”

Hatiku pilu mendengar itu. Rasanya aku ingin berontak ketika Pramono memungut dan membawaku pergi, tetapi aku tidak berdaya. Makin lama, tangis gadis yang kusayangi itu makin menghilang.

Editor: Fitri Junita

#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day16
#temaakusebagaibenda

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami