Saat ini, seharusnya kita bisa saling dukung dan menguatkan tanpa perlu menakar satu sama lain. Saling mengasihi dengan tulus dan saling memberi tanpa menuntut. Akan tetapi, entah mengapa yang terjadi justru sebaliknya. Selalu saja pikiran negatif yang tersemat di benakmu tentang aku.
Seperti pasangan normal lainnya, aku juga ingin merasakan keindahan kala berdua. Bersenda gurau, bercengkerama, dan menikmati hari dalam kebersamaan yang mengesankan. Bermesraan sepanjang waktu, bermanja-manja, dan berbagi suka duka. Apakah salah bila aku mengangankan itu semua? Atau barangkali hanya aku saja yang menginginkannya? Ah, mendadak aku didera keraguan tentang rasa sayang yang ada di antara kita. Benarkah rasa itu ada?
“Tris, antar dan temani aku periksa ke dokter, ya, sore ini,” pintaku sambil memelukmu dari belakang manja. Aku berharap kau membalikkan badan dan menggendongku seperti yang dahulu sering kau lakukan. Atau memberiku pelukan hangat dan kecupan sayang di kening. Sungguh, aku merindukan saat-saat itu.
Tahukah kau? Jauh di lubuk hatiku menjerit, meronta, dan menangis meraung-raung seperti anak kecil yang menginginkan sesuatu, tetapi dilarang oleh ibunya. Ia terus menangis sepanjang waktu hingga tertidur karena lelah. Begitu pun aku, Tris.
“Haruskah sore ini, Win?” jawabmu datar dan singkat seolah enggan menjawab. Tidak ada nada khawatir di kalimatmu. Tidak ada ungkapan peduli di suaramu. Rasa cinta dan sayang yang dulu selalu kau bisikkan di telinga seakan raib diterpa angin.
Ada yang tergores dan terasa nyeri di dada ini. Menambah guratan-guratan luka yang kian bernanah. Namun, kutahan segala rasa sakit itu dan mengabaikan semua siksaan rasa kecewa yang memanjang di bilik hati.
“Menurut jadwal dokter memang hari ini, sih. Akan tetapi, kalau kamu enggak bisa mengantar, ya, sudah. Enggak apa-apa, kok. Aku bisa pergi ke sana sendiri. Kamu sibuk, ya?” kataku tanpa melepas pelukan. Kucoba berdamai dengan keadaan meski tak sesuai dengan harapan.
Mungkin dalam hatimu merasa risih dan tidak suka kuperlakukan begitu, tetapi biarlah, aku tetap akan berpura-pura tidak tahu. Bukan tanpa alasan aku memelukmu dari belakang, melainkan agar bisa menyembunyikan kesedihan dan kesakitan yang tampak di mukaku. Tidak peduli apakah kamu menyukai atau tidak, yang pasti aku akan sering melakukannya karena ku tak mau terlihat lemah di hadapanmu.
Sudah hampir dua tahun sejak peristiwa keguguran yang kualami, kamu berubah. Kau dan aku seakan orang lain yang belum saling mengenal. Senyummu yang biasa menghiasi hari-hariku mendadak hilang seperti tertutup gerhana. Canda tawamu yang selalu terdengar di setiap sudut rumah juga raib entah kenapa. Salahkah aku jika keguguran? Apakah suatu dosa besar bila perempuan mengalami keguguran dan harus menerima hukuman? Mengapa semua orang seolah menudingku sebagai ibu yang tidak bertanggung jawab? Mengapa?!
Jika boleh aku jujur maka ingin kukatakan padamu tentang gejolak rasa yang menggunung. Sedih, sakit, sepi …. Tahukah kau betapa menderitanya aku? Aku merasa sendirian menjalani kehidupan ini, tanpa kehadiranmu sebagai seorang suami yang seharusnya menemaniku dalam segala situasi dan kondisi. Untuk apa kau ada di sisiku, jika hakikatnya tidak ada?
Apa salahku hingga membuatmu kian menjauh dariku? Katakan saja bila memang ada hal-hal yang tanpa kusengaja membuatmu tersinggung atau tidak disuka. Bukankah dulu kita tidak seperti ini? Kau sendiri yang mengatakan tentang pentingnya keterbukaan. Atau mungkin ada nama lain yang menggantikan namaku? Jika iya, bicara saja apa adanya agar aku tahu diri dan tak mengharap lagi.
Andai saja kehamilan itu bisa direkayasa sendiri tanpa harus menunggu keputusan Tuhan, aku pasti memberimu hadiah sebuah kehamilan baru, yang membuatmu bahagia dan tidak menyalahkanku lagi. Aku juga mau punya anak seperti apa yang kau dan orang tuamu inginkan. Akan tetapi, apalah dayaku bila bayi itu tak kunjung hadir dalam pelukan?
Sebagai perempuan normal, aku pun ingin merasakan hamil dan melahirkan. Kamu juga tahu bahwa aku tidak pernah sekali pun menjalani program KB, atau meminum ramuan tertentu guna mencegah kehamilan. Tidak! Justru aku mengupayakan bermacam cara demi satu tujuan yaitu agar segera hamil.
Aku juga tidak egois memikirkan kepentingan diri sendiri dengan harapan kamu pun melakukan hal yang sama. Memikirkan aku, peduli padaku, dan merangkulku dalam pelukanmu. Menguatkan kembali langkah diri yang mulai letih.
*
Sore ini aku menemui Dokter Maya lagi seperti biasanya. Sendiri. Aku harus menjalani serangkaian pemeriksaan yang sudah dijadwalkan rutin untuk menuntaskan penanganan infeksi toksoplasma yang masih tersisa di rahimku. Sebelum bertemu dengan Dokter Maya, aku tidak tahu tentang infeksi itu. Dari mana asalnya dan bagaimana caranya hingga bisa membuat aku kehilangan bayi pertamaku. Sejak pemeriksaan dokter, aku menjadi mengerti.
Namun, apa gunanya pengetahuanku tentang infeksi itu jika kamu tidak mau tahu? Berulang kali sudah kukatakan padamu bahwa kita harus bersama-sama menghadapi kenyataan ini. Berdua. Namun, kamu selalu menolak dan merasa tidak perlu. Lantas, apa gunanya berumah tangga jika hanya ingin senangnya saja dan tak mau berbagi? Aku sedih.Teramat sedih dengan semua ini.
Tuhan, aku tak sanggup lagi menjalani ini sendiri. Haruskah kuakhiri?
Bandung, 04 Oktober 2019
***