Namaku Cinta. Aku punya seorang adik bernama Tami. Aku duduk di kelas tiga SMA, sedangkan adikku masih kelas enam SD.
Ayahku bekerja sebagai buruh pabrik benang. Namun, dia terpaksa kena PHK karena perusahaan tempatnya bekerja pailit. Ibu hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang kesehariannya mendidik kami. Ibu selalu mempunyai waktu untuk mengajari kami pelajaran sekolah maupun pendidikan agama.
Kami sekeluarga mengontrak rumah yang memiliki dua kamar. Namun, setelah ayah di-PHK, dia kesulitan membayar kontrakan tersebut.
Kemudian, ayah meminta bantuan kepada Paman Ali, kakaknya. Atas saran Paman Ali, ayah pindah rumah ke rumah nenek yang lama tidak ditempati.
Rumah nenek sudah berdiri sejak tahun 1920-an, tetapi masih terawat hingga kini, tahun 1995. Tetangga nenek, Mang Udin, yang merawatnya. Akhirnya, Ayah mengajak kami pindah ke rumah nenek di Cianjur. Kami harus meninggalkan Kota Bandung untuk sementara waktu.
Sampai di rumah nenek, kami melihat ada sebuah pohon besar di dekat gerbang depan. Kami perlahan memasuki kawasan rumah itu. Di sana, ada kebun yang luas serta banyak pohon dan tananam. Aku merasakan angin yang agak kencang dan dingin.
“Ayaaah!” teriak Tami.
“Kenapa?” jawab Ayah.
Tami tak berkata apa-apa lagi, tapi kulihat wajah Tami seperti ketakutan. Aku belum berani menanyainya.
Jarak antara gerbang depan dan pintu rumah cukup jauh. Aku takjub melihat rumah nenek yang begitu besar. Rumah itu tiga lantai. Begitu kami sampai di depannya, tiba-tiba pintu rumah terbuka sendiri.
Kkkeeetttt.
“Wilujeng, Gan,” sapa Mang Udin.
Kami kaget, Mang Udin datang tiba-tiba dari belakang kami. Lalu, siapa yang membukakan pintu itu?
Mang Udin menyuruh kami masuk rumah dan duduk di meja kayu ruang tamu, Mang Udin memberi kami air teh hangat dan sepiring ubi. Dia menjelaskan bahwa keluarga Mang Udin adalah kepercayaan nenek. Keluarga Mang Udin berhutang budi kepada nenek. Jadi, mereka bersedia merawat rumah nenek sepanjang hidupnya.
Mang Udin hanya menyapu dan mengelap perabotan yang ada di rumah nenek. Dia tidak tinggal di situ. Keluarga Mang Udin dan tetangga sekitar menyebut rumah itu Rumah Ageung, yang artinya rumah besar. Nyatanya, memang rumah nenek paling besar di kampung ini.
Menurut Mang Udin, rumah nenek memiliki 11 kamar. Dua kamar di lantai satu, lima kamar di lantai dua, dan empat kamar di lantai tiga. Kami kembali takjub. Rumah nenek terasa lembab dan penerangan rumahnya pun agak redup.
Seingat ayah, saat masih kecil, dia hanya dua kali diajak orang tuanya mengunjungi rumah ini. Itu pun mereka hanya bertamu di lantai satu. Keluarga ayah memang jarang ke rumah nenek yang ini. Biasanya kami berkumpul di rumah kakek di Pangalengan. Rumah Ageung biasa tak berpenghuni dan jarang ada tamu.
Mang Udin juga menjelaskan, dahulu, Rumah Ageung adalah tempat penampungan anak yatim piatu. Jadi, uyut kami yang mengurus mereka.
Malam pun tiba. Kami berisirahat di kamar lantai satu. Ayah dan ibu tidur di kamar depan, sedangkan aku dan adikku tidur di kamar belakang.
Aku terbangun karena mendengar suara ribut anak-anak di lantai atas. Adikku ikut terbangun.
“De, kamu dengar sesuatu?” bisikku pada Tami.
Tami mengangguk. Karena penasaran, kami turun dari ranjang, lalu berjalan menuju pintu keluar kamar. Pelan-pelan, kami menghampiri suara itu dan menaiki tangga.
Gubbrraakk!
Kami kaget. Kami melihat ada benda jatuh di ruang tamu. Karena penasaran dengan benda itu, kami tak jadi ke lantai atas. Aku dan Tami menuju ruang tamu. Ternyata, sebuah kotak kayu jatuh dari lemari. Kami membukanya.
“Neng …,” suara nenek memanggil kami.
“Aarrgghhh,” kami berteriak sambil berlari menuju kamar.
#ajangfikminjoeraganartikel2021
#day8
#temarumahtua
Editor : Saheeda Noor