✍️Wien Purwandini
“Apakah masih jauh, Bayu?” tanya Rintik sembari membetulkan jaket birunya.
Ia baru saja terbangun, setelah tertidur cukup lama dalam perjalanan menuju desa di mana ibunya berada.
“Masih satu jam perjalanan lagi, Sayang,” jawab Bayu lembut.
Rintik merenggangkan tubuhnya. Mencoba mengusir pegal yang ia rasakan pada pinggang dan punggungnya.
“Tidur saja lagi. Jika sudah sampai akan kubangunkan,” ujar Bayu sambil mencari jemari Rintik. Meremas lalu menggenggamnya hangat.
“Ah, aku sudah tertidur cukup lama. Sekarang waktunya aku menemanimu, agar kau tak mengantuk saat menyetir.”
“Aku tidak mengantuk, Sayang. Tidurlah kembali.”
“Aku hanya merindukan Ibu. Aku hanya ingin bertemu walau ….”
“Kita akan segera bertemu Ibu. Bukankah kita sedang menuju ke sana?”
Rintik terdiam. Ia menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba menyusun puzzle kenangan yang terserak sekian lama. Terserak karena keras hatinya. Sesuatu yang sangat ia sesali saat ini.
Hujan yang turun di sepanjang perjalanan mereka, menambah nyeri hati Rintik. Sejak dulu ia sangat menyukai hujan. Hujan yang tak pernah takut menghunjam bumi. Tak pernah khawatir dimana ia akan jatuh, tak pernah menghitung apa yang akan ia dapat sebagai balas setelah ia membiarkan dirinya membasahi harap setiap makhluk di permukaan bumi.
Namun hujan pula yang menggores kenangan buruk pada sebuah sudut hatinya. Saat ia membentak Ibu lalu meninggalkannya, berlari menembus hujan tanpa tahu harus ke mana. Sebuah ego seorang gadis muda, yang berambisi mencapai sesuatu yang tak mendapat restu dari wanita yang melahirkannya.
Enam tahun berlalu sejak itu, dan ia masih mempertahankan sombongnya. Ia mengabaikan suara hati kecil yang menyuruhnya segera pulang memeluk Ibu. Walau Bayu juga selalu membujuknya, ia tak peduli.
Hingga semalam, lelaki itu mengajaknya pulang menemui Ibu, dan ia tak kuasa menolak. Runtuh semua dinding ego yang ia bangun selama ini.
“Dingin?” tanya Bayu memecah hening. “Sepertinya hujan akan cukup awet. Mendung tebal masih menggantung.”
“Ya, aku dapat merasakannya,” gumam Rintik.
Selama sisa perjalanan, Rintik lebih banyak diam. Mencoba mempersiapkan hatinya saat bertemu Ibu nanti.
“Bayu, apakah Ibu akan memaafkanku?” tiba-tiba Rintik bertanya dengan suara bergetar. “Aku sangat berdosa pada Ibu. Aku menyesali setiap detik dari sekian lama waktu yang kusia-siakan demi mempertahankan kemauanku!”
“Hati seorang Ibu itu sangat luas. Ibumu selalu punya cinta dan maaf buatmu. Beliau selalu mengatakan itu jika aku meneleponnya.”
Ah, hati Rintik semakin pilu. Bayu selama ini mencoba mendamaikannya dengan Ibu.
“Sebentar lagi kita sampai,” ujar Bayu.
Hati Rintik semakin bergemuruh. Ia gentar. Rasa berdosanya sungguh mengurung jiwa dengan ketakutan dan khawatir.
Rintik menggandeng lengan Bayu dengan erat. Mereka berdua berjalan di bawah hujan dengan dilindungi sebuah payung hitam.
“Rintik, ini Ibu,” bisik Bayu padanya.
“Bantu aku memeluk Ibu,” bisik Rintik. Air mata menggenang di sudut netranya yang tak lagi dapat melihat sejak kecelakaan yang ia alami dua tahun lalu.
Bayu memeluk bahu Rintik. Membimbingnya berjongkok dan mengarahkan tangan Rintik.
Rintik meraba batu nisan dingin lalu beralih ke gundukan tanah basah.
“Ibu, aku pulang. Maafkan aku!”
Dan hujan membasahi wajahnya, menyatukan hangat air matanya dengan tetes dingin mereka. Membawa suara angin yang menenggelamkan tangis pilu Rintik yang tak peduli tubuhnya basah saat memeluk makam ibunya. Memohon maaf dan mencoba mengikhlaskan semuanya.
#eventfikminJoeraganArtikel2021
#day10
#youngadult
#ikhlas
Editor : Dina Ananti