Sudah seminggu ini, aku dilanda resah. Tidur tak nyenyak, makan tak enak, dan beraktivitas pun tak tenang. Ada hal yang sangat mengganggu, tetapi aku belum tahu apa penyebabnya.
Terus terang saja aku kelimpungan dengan rasa ini. Rasa yang aneh dan tiba-tiba, padahal hampir tiga tahun aku sekolah di SMA ini.
Mengapa waktu kelas X dulu biasa-biasa saja? Juga saat kelas XI, tidak kualami hal ganjil seperti sekarang. Apakah teman-temanku mengalami kejadian yang serupa, ya? Jangan-jangan hanya aku saja?
Aku teramat malu untuk membicarakan tentang apa yang sedang kualami kepada teman-teman. Selain tidak tahu cara menyampaikan cerita, aku juga tidak terbiasa melakukannya.
Sayang, Ayah sebagai tempatku berkeluh kesah, sedang merawat nenek di Jakarta. Jadi, aku tidak bisa bercerita tentang pengalaman aneh yang menimpaku.
Biasanya, Ayah dengan setia mendengar celotehku yang panjang lebar. Lalu, ia akan ganti bercerita tentang topik yang serupa. Aku suka menyimak pengalaman-pengalamanย Ayah yang seru.
“Ayah dulu sangat ingin memukuli teman ayah yang namanya Dipo. Dia itu sombong dan sok jagoan. Rasanya enek kalau melihat tingkah dan gayanya. Namun, setelah ayah pikir, apa untungnya memukuli orang? Apalagi jika tidak ada alasan yang jelas. Apa bedanya ayah dengan Dipo kalau begitu?” tutur Ayah saat itu.
Baiklah, dengan berat hati aku memutuskan untuk menyimpan cerita itu hingga ayah pulang ke rumah.
***
Seminggu lebih Ayah ternyata tidak kunjung datang. Nenek belum bisa ditinggal.
Kucoba menekan perasaan aneh yang muncul dan mengatasi keresahan yang diakibatkan rasa itu dengan caraku.
“Van!” Tiba-tiba sebuah tangan melayang di punggungku agak keras.
“Astagfirullah!” seruku seraya menahan berat badan agar tidak terjatuh. Hampir saja aku terjungkal dari bangku karena terkejut. Rido, sahabatku. Anak kelas XII IPS 2 yang jago karate bikin ulah.
“Kamu ke mana saja, sih? Hilang kayak ditelan bumi. Bilang dong kalau mau menyusup ke dalam sana,” protesnya bersungut-sungut. Wajahnya menampakkan kekesalan.
“Dua kali latihan kamu juga tidak datang, lo. Kenapa? Sakit? Ada masalah? Atau …?”
Aku enggan menjawab ocehannya karena yakin semua akan baik-baik saja. Rido adalah teman dekat yang terbaik. Dia, salah satu teman yang selalu perhatian padaku. Di balik sikapnya yang tampak cuek, sesungguhnya, dia sedang mengkhawatirkanku.
Benar saja, ia sekarang berbalik haluan. Mukanya serius menatapku hampir tak berkedip. Tangan kanannya tiba-tiba sudah menempel di dahiku.
“Wah, panas sekali badanmu, Van. Jangan-jangan pertanda sakit, nih. Kasihan lambungmu kalau tidak diobati. Yuk, beli obat ke kantin!” ajaknya masih dengan mimik serius.
Aku tak dapat menahan tawa dengan aksi Rido yang sok serius itu. Dia memang paling bisa merajuk dan mengambil hati orang dengan caranya, padahal ia hanya ingin mengatakan kalau sedang lapar dan perutnya minta diisi.
“Iya โฆ iya. Aku juga mau makan, kok. Lapar,” balasku sambil berdiri dan melangkah menuju kantin sekolah.
***
Di ujung kantin, mataku menangkap sosok yang sedari tadi kunanti. Wajah tenang berseri dengan mata coklat teduh yang dibalut kerudung putih. Ada desir indah yang menyusup di lubuk hati.
Rasa ragu dan grogi mendadak muncul, menghapus rasa lapar yang tadi menyerang dengan terang-terangan. Aku spontan berbalik arah.
“Eits! Mau ke mana, Mas Bro?” tanya Rido menarik tangan kiriku masuk ke dalam kantin.
“Ke toilet!” teriakku berusaha melepaskan tangannya. Akan tetapi, genggaman tangannya terlalu kuat. Akhirnya aku hanya bisa pasrah pada kenyataan, saat Rido menyeretku duduk di dalam kantin.
“Soto, Bu! Dua!” Tanpa bertanya padaku, Rido langsung memesan makanan.
Sambil menunggu datangnya pesanan, aku melirik makhluk indah ciptaan Allah yang akhir-akhir ini ingin selalu kulihat. Kutahan deg-degan yang menyerang di dada dengan sedikit berakting agar Rido tidak curiga. Ke mana ia gerangan? Kok, tidak ada?
Ada perasaan kecewa sekaligus penasaran yang menjalar ke ubun-ubun ketika tidak menemukan sosok yang kucari.
***
Aku mengenalnya tidak sengaja, ketika mendapat tugas dari sekolah untuk mengumumkan ke kelas-kelas tentang jadwal pemilihan ketua OSIS. Namanya, Kartika. Dia ketua di kelas X IPS 3.
Sejak bertemu dan berkenalan, aku merasakan sesuatu yang aneh dalam diriku. Mendadak aku ingin selalu bertemu dan bersamanya. Aneh, kan? Belum lagi perasaan lain yang entah apa namanya aku tidak tahu.
Andai saja Ayah ada di sini sekarang, aku yakin sekali akan terjawab semua teka-teki ini.
“Ayah, kapan pulang?” gumamku seraya menerawang jauh memandang langit-langit kamar.
***
Beberapa hari ini, makhluk Allah yang lembut itu menyerangku habis-habisan. Bayangan sosok manis yang setiap hari bertemu di sudut kantin sekolah itu sangat mengusik hari-hariku. Menyesakkan dada, menjajah otak, dan mengganggu belajarku. Aku betul-betul bingung mengatasinya.
“Ya, Allah. Tolong aku!” rintihku dalam doa.
***
Akhirnya aku putuskan untuk bicara pada Ibu.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kenapa bayangan gadis itu ada di mana-mana? Aku belum pernah begini, Bu.” Agak ragu aku mengatakan apa yang sedang kualami pada Ibu.
Sebenarnya, aku merasa malu saat bercerita tentang kegelisahan yang meneror hari-hariku itu. Namun, bagaimana lagi?
“Mulai besok kamu saum, ya,” kata Ibu tersenyum mengusap rambutku.
“Saum?” tanyaku heran. Bukankah besok hari Selasa? Lalu, saum apa?
“Kamu bisa belajar saum Daud. Ibu yang akan menyiapkan makan sahur sekaligus menemanimu saum,” tutur Ibu seraya memandangku penuh arti. Ada kekhawatiran yang terbaca di sana meski selintas.
Aku mengiyakan saja saran Ibu.
“Baiklah, Bu. Insyaallah, aku akan belajar saum Daud mulai besok. Doakan aku selalu ya, Bu,” ucapku, menjawab perkataan Ibu.
“Mulai sekarang, kamu boleh berlatih karate setiap hari. Di rumah juga boleh. Ajak saja Rido sekalian belajar bersama,” kata Ibu lembut.
Damai rasanya hati ini sekarang. Nasihat ibu akan kulaksanakan. Kini kusimpan rinduku pada gadis bermata teduh itu di dasar hati yang terdalam, berharap kelak akan dipertemukan.
Kubenamkan kepala di pangkuan Ibu yang sedari tadi menatapku, seperti tampak cemas.
Bandung, 17 September 2019