“Ibu… aku terlambat, ya?” teriak Ainayya, gadis bungsuku, memecah kesunyian pagi.
Dia bergegas melepas pakaian, lalu masuk ke kamar mandi.
Malamnya, aku sudah mengingatkan bahwa hari ini dia boleh masuk sekolah. Aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tidak menyurutkan niatnya untuk belajar.
Sesuai kesepakatan kami sebelum beranjak ke alam mimpi, aku berangkat ke kantor seperti biasa, sementara Naya kuantar ke PAUD Rona Praja.
“Bu, aku berangkat pagi juga,” ucap ayah setelah merapikan sarung dan sajadah.
Segera kubongkar tumpukan pakaian. Dua setel seragam segera kusetrika ulang sebelum beranjak ke dapur. Kulirik jam dinding. Jarum pendek sudah bergeser ke angka 6. Pukul 7 sudah harus tiba di kantor, rumah kedua yang memberiku kehidupan.
“Masak apa, Sayang?” tanya suamiku sambil memelukku mesra, lalu dengan kilat mengecup puncak kepalaku.
“Cie…cie… Ayah Ibu pacaran!” teriak Naya yang baru saja keluar dari kamar mandi.
“Oo…kita ketahuan, pacaran lagi…di depan Naya…” senandung suamiku, lalu mendekati gadis kecil kami dan menemaninya memakai seragam.
Secepat kilat kukeluarkan daging dari kulkas. Sekotak kecambah harus ikut pentas sarapan pagi ini.
“Bimsalabim rawon kilat bakal tersaji.” Aku pun bergerak cepat ala chef rumahan. Panci presto kusiapkan. Kudidihkan 500 mili air di dalamnya.
“Ibu, bajune iki kabeh masuk mesin cuci, kah?” Suara si kakak tiba-tiba ikut menggema.
“Eh, ojo!” perintahku cepat ketika ingat beberapa baju batik kain tenun ada di keranjang. Maklum emak pelupa ini lalai memisahkan baju kotor. Secepat kilat aku bergeser ke tempat cucian.
“Sampean lanjutke masak,” Si kakak baru beranjak ketika mataku melotot. Sambil mengucek baju batik kesayangan, perawatan khusus yang harus kukerjakan sendiri, mulutku tak berhenti memberi instruksi.
“Sampean lanjutke masak,” perintahku pada sulungku. Si kakak baru beranjak ketika mataku melotot.
Sambil mengucek baju batik kesayangan, perawatan khusus yang harus kukerjakan sendiri, mulutku tak berhenti memberi instruksi.
“Wis umub?” tanyaku pada si Kakak.
“Umub ki opo?”
“Mendidih,” jawabku masih asyik dengan cucian baju.
“Sampun,” jawab si Kakak lagi.
“Tuang bumbu rawon neng pintu kulkas,” perintahku lagi.
“Enggak ono sing tulisane rawon ki…” si Kakak mulai bingung.
“Sing bumbune ireng…iku rawon…” sahutku kemudian.
“Enggak ono tulisane, Bu,”
“Yo pokoke nang pintu kulkas.”
Tak ada lagi sahutan, hatiku tenang. Berkat bantuan si Kakak semua pekerjaan selesai bersamaan. Ketika panci presto mulai berdenging, aku hampir menyelesaikan bilasan terakhir. Kupercepat gerakan tatkala Naya berteriak minta berangkat. Jarum panjang dan pendek sudah bergabung di angka enam.
Si Kakak kembali mengikuti aba-abaku, menyiapkan daun bawang dan merajangnya. Dia patuh memasukkan irisan daun bawang setelah uap panas hilang. Kakak pun dengan sigap menyiapkan semangkok rawon untuk sarapan.
“Memang Kakak ini patut diandalkan,” puji suamiku sambil mengacungkan dua jempol tangan.
Tangannya sibuk menuang kuah hitam yang menggoda. Aku pun segera bergabung membantu menaburkan bawang goreng dan irisan daun bawang sebagai tambahan penyedap. Aku masih mencerna aroma yang menguar dari panci.
“Iki mau sidane masak opo?”
Suamiku yang sudah mengambil kuah terlebih dahulu, tiba-tiba berhenti mengunyah.
“Iki kan bumbune?” tanya kakak menunjukkan bumbu yang dikeluarkan dari kulkas.
Seketika aku ingat, di sebuah kantong plastik yang sama, pernah kutuang sambal cumi kiriman dari kawan, karena Ainayya meminta botolnya.
#ajangfikminjoeraganartikel2021
Editor: Indah Taufanny