Oleh : Sukma Widya
Semua bermula dari satu kata bernama rasa.
Rasa yang dulu menjadi penentu asa-ku.
Rasa yang pernah menyemangati asa-ku
Tapi nyatanya, rasa itulah yang menghilangkan asaku
Rasa itulah yang menghitamkan asaku
Andai Rasa tanpa R, akankah asa-ku kembali bersinar?
Andai Rasa tanpa R, akankah asa-ku dapat kembali kupeluk?
Seperti sebelum kugadaikan asaku, hanya demi sebuah rasa.
___________________________
Malam ini, ada rasa sakit yang begitu menyesakkan dada. Rasa yang lebih dari sekedar patah hati. Di sudut ruangan, seorang wanita tua meraung-raung, merutuk nasibnya. Air matanya tumpah menganak sungai. Tangan keriputnya, tak henti memukuli punggung wanita muda yang tersungkur dipangkuannya.
“Apakah salah dan dosa Ibu sama kamu Sa, sehingga kamu melempar kotoran itu di wajah Ibu?”
“Bagaimana Ibu bisa menghadapi dunia, jika kamu buat wajah ibu sekotor ini?!”
Perempuan yang telah melahirkanku ini terus menangis, dan memukuli punggungku. Aku masih merengkuhnya, meminta ampun dan siap menerima segala hukumannya malam ini.
Hampir 9 bulan aku menyembunyikan perut buncit ini. Mengaku selalu ada tugas di kampus, agar setiap liburan tiba aku tidak perlu pulang ke kampung halamanku. Namun, sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, pasti baunya akan tercium juga, kan?
Ya, aku hamil diluar ikatan pernikahan. Sebenarnya, sejak awal mengetahui kehamilanku, kekasihku sudah siap bertanggung jawab. Sayangnya aku begitu bodoh. Dengan alasan belum dapat membahagiakan orang tuaku, aku mengajaknya menyembunyikan semuanya, dan berencana memberikan bayi ini ke panti asuhan setelah ia lahir.
Namun, tiga hari sebelum waktu persalinanku, kekasihku yang kebingungan karena kami tidak memiliki persiapan apapun, dengan putus asa ia menceritakan semua yang terjadi kepada atasan tempat ia bekerja bahwa ia mempunyai kekasih yang akan segera melahirkan.
“ Sa …” Suara berat laki-laki yang sangat kukenal itu, membuyarkan lamunanku. Aku menoleh sekilas, lalu bergeming dan kembali sibuk membiarkan jemariku merangkai bait tanpa jeda.
“ Ini, ku belikan sekotak kapur hitam. Ku lihat kapurmu sudah mulai habis,” Laki-laki itu kembali berbicara. Tangannya menyisir dan mengikat rambutku dengan lembut.
Rey, kekasihku yang kini menjadi pendamping hidupku, tetap sama seperti enam tahun lalu. Begitu tulus mencintaiku tanpa jeda. Ia selalu datang mengurus segala keperluanku.Ia tidak sekalipun mengizinkan perawat rumah sakit jiwa ini melakukannya. Rey tetaplah Rey yang dulu, percaya bahwa aku akan menuliskan bait-bait untuknya. Meski Ia selalu tahu mataku tak lagi menatapnya dengan penuh harapan. Jemariku tak lagi merangkai bait untuknya. Kini aku hanya merangkai tiap baitku disetiap sudut kamar ini, memenuhi temboknya dengan coretan kapur hitam pemberiannya.
Editor :Indah Taufanny
#ajangfikminjoeraganartikel2021
#Day1