Oleh : Etika Amatusholihah
“Yah, begini terus mah, ga bakalan dapet-dapet.” keluh Qudink sambil mengamati kail pancingnya yang diam tak bergerak di air.
Satu jam menunggu tanpa hasil, Qudink berinisiatif mengganti umpan yang dipasangnya dengan seekor kadal mati. Umpan cacing tanah yang sebelumnya, telah ia buang begitu saja di tanah dan dipatok ayam. Ah, rezeki buat Si Jalu.
“Alhamdulillah, senangnya berbagi denganmu Gaes, kikikik,” komentar Qudink cekikikan mengacungkan jempol ke ayam jago yang setia menemaninya dari tadi.
Kadal gemuk montok telah siap sebagai umpan. Qudink kembali menjalankan aksi super keren yang dilakukan pemuda zaman now. Apalagi kalau bukan ‘memancing’.
Lima belas menit berlalu, tidak juga ada tanda-tanda kehidupan. Eh, tanda- tanda berhasil maksudnya. Itu kail pancing meneng bae’. Sama persis seperti yang pertama tadi.
Bergaya ala pemancing profesional, ia pun melakukan gerakan memutar-mutar kail pancingnya. Tanpa disadari, bokongnya pun turut bergoyang, yang kalau dilihat sepintas, mirip gerakan orang main holahop atau berjoget dangdut. Hihihi.
“Hup … yes! Semoga yang ini berhasil.” Qudink mengambil posisi jongkok dan memegang tongkat pancingannya sambil bersiul. Siulannya mendendangkan irama seperti nada lagu ‘Abang Tukang Bakso’ yang dinyanyikan si Melisa.
Qudink pun mengganti lagi umpannya dengan yang lebih besar, yaitu seekor tokek, dan kadal tadi dicampakkan lagi ke tanah dan langsung dicaplok si Jalu dengan riang gembira.
Setengah jam kemudian, tokek itu pun tak laku juga dimakan hewan sasarannya. Ia pun kembali membuang tokek itu ke tanah dan ikhlas di makan Jalu lagi di tanah. Qudink mulai berpikir keras. Sudah bolak-balik ganti umpan, kok tidak ada yang berselera memakannya, ya?
Hhmmm ….
“Hey, Jalu, sebenarnya hewan apa sih yang kita pancing ini? Kok, nggak ada yang mau makan umpan-umpanku?”
Jalu hanya bernyanyi kukuruyuk kekenyangan ketika ditanya Qudink, sambil melihat ember yang penuh air bekas cucian baju, yang sejak tadi digunakan Qudink untuk memancing.

***