Qais dan Khadijah
Oleh: Haryati Hs.
Hari ini adalah hari pertamaku di rumah Qais, seorang anak laki-laki kelas 2 sekolah dasar. Di rumah ini, aku bertemu dengan Kiky, teman lamaku. Namun, Kiky terlihat sedih. Aku pun menghampirinya.
“Hai, Kiky, mengapa kamu murung?” tanyaku.
“Oh, aku enggak apa-apa, kok. Selamat datang, Du. Semoga saja Qais tidak akan berebut lagi dengan adiknya, karena sudah ada kamu.” Kiky tersenyum menyambutku.
“Lo, kok, berebut?” tanyaku penasaran.
“Iya, Qais enggak mengizinkan Khadijah bermain denganku,” jelas Kiky
Tiba-tiba, sebuah tangan mungil meraihku.
“Khadijah,” bisik Kiky cepat sebelum aku dibawa dan diletakkan di lantai oleh gadis kecil itu.
Khadijah mulai bersenandung sambil menghiasku dengan krayon aneka warna. Sesekali dibolak-baliknya aku. Entah apa maksud gadis kecil berusia empat tahun itu, tapi dia terlihat begitu senang.
“Khadijah!”
Tiba-tiba terdengar teriakan Qais. Dia berlari cepat menghampiri adiknya yang sedang asyik bermain denganku. Kemudian, dengan gesit Qais merebutku.
“Jangan, Abang!” teriak Khadijah.
Khadijah berusaha merebutku kembali dari kakaknya. Namun, Qais lebih lincah dan kuat. Ia bergerak ke sana ke mari untuk menghindari Kadijah. Hal itu membuatku pusing.
“Ini punya abang!” seru Qais sambil berlari.
Akan tetapi, Khadijah tidak mau tahu. Dia terus berusaha mengambilku dari tangan kakaknya. Bahkan, kini dia mulai menangis.
“Qais, kenapa Khadijah menangis?” tanya bunda yang baru muncul dari dapur.
Begitu melihat bunda, Khadijah langsung berlari memeluknya.
“Khadijah mau pinjam, tapi enggak boleh sama Abang.” Khadijah mengadu sambil menunjuk diriku.
“Ini, kan, untuk abang belajar. Mana masih baru lagi,” kata Qais membela diri.
Bunda duduk berlutut dan memegang kedua pipi Khadijah.
“Khadijah main yang lain saja, ya, Nak? Yang tadi itu bukan untuk bermain,” bujuk sang bunda.
Khadijah menggeleng. Tangisnya pun kembali terdengar.
“Khadijah mau itu!” teriaknya. “Khadijah mau tulis kayak Abang.”
Khadijah kembali menunjuk ke arahku. Namun, dengan sigap, Qais menyembunyikanku di belakang badannya.
Bunda berusaha membujuk agar Khadijah berhenti menangis dengan berjanji akan membelikan apa yang dia inginkan.
Setelah menghapus air mata Khadijah, bunda menghampiri Qais dan menasehatinya.
“Katanya Abang sayang Khadijah, kok, marah-marah begitu?”
“Habisnya, Khadijah coret-coret punya Qais,” jawab Qais sambil menunjukkan coretan warna-warni yang dibuat Khadijah di halaman pertamaku kepada bunda.
Bunda melihatku dan tersenyum.
“Adik itu masih kecil, jadi belum banyak mengerti,” kata bunda sambil mengusap kepala putra sulungnya itu.
“Kalau Abang mau melarang, sampaikan dengan baik, ya, Nak. Bukan marah-marah seperti tadi,” lanjut bunda.
Qais pun mengangguk. Setelah berpikir sebentar, dia melangkah menuju meja dan mengambil Kiky.
“Dijah pakai ini saja.” Qais menyodorkan Kiky pada adiknya.
Khadijah mengambil Kiky dari tangan Qais dengan senang.
“Terima kasih, Abang,” sambut gadis kecil itu dengan riang.
“Sama-sama,” sahut Qais cepat, lalu mulai menuangkan idenya pada lembar demi lembar dari tubuhku.
Sementara itu, Khadijah sibuk menghias Kiky dengan coretan-coretannya.
“Lo, Abang buat apa?” tanya bunda heran.
“Spiderman, Bunda. Nah, yang itu Iron Man,” jawab Qais antusias.
“Ini kan buku tulis, Bang. Kok, dipakai untuk menggambar?”
“Iya, Bunda, nanti Qais tulis ceritanya. Qais mau buat komik.” Qais menjelaskan sambil tersenyum lebar.
Mendengar hal itu, bunda menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian kembali ke dapur setelah berpesan agar Qais dan Khadijah tidak ribut lagi.
Editor : Ruvianty
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day17
#temaakusebagaibenda
#genreceritaanak