“Madara?” tanya Kambang setelah Djatta mengucapkan sebuah nama tempat yang asing di telinganya.
“Iya!” jawab Djatta tegas.
“Memang, perkara shinobi lagi?” imbuhnya kemudian.
“Kelak, kau akan mengetahuinya. Seperti gua ini, dulu kau bilang menyeramkan, dan tak ada keindahan di dalamnya.”
Djatta melepaskan pelukan dan membiarkan Kambang kembali menyelam ke danau yang airnya jernih bersemu hijau oleh tumbuhan hydrilla.
Sementara itu, dia memilih kembali ke palet lukisnya, sebuah papan sebagai alas menumbuk bawang dayak, kunyit, buah rahmania, dan daun pudak. Pada atas dinding gua yang menjadi kanvasnya, lelaki tampan berkulit bersih itu melukis bermacam gerakan silat untuk melatih kesaktiannya.
Lima purnama telah mereka lewati bersama. Kemampuan Djatta dalam ilmu beladiri, telepati hingga mistis berkembang pesat. Namun, dibalik kesuksesannya kebebalan Kambang semakin menjadi. Ketidakpercayaannya terhadap hal yang tak kasat mata menuntut Djatta berusaha keras memperlihatkan buktinya.
Sejak purnama keenam, Kambang mulai membersamai semedinya hingga purnama ketujuh tiba. Saatnya, Djatta membawa Kambang pada perjalanan spiritual menuju Madara.
Suatu sore, sebuah kereta unik yang dikendarai oleh Bue dan Tambi, sepasang suami istri yang telah ditemuinya melalui mimpi, tiba di muara sungai. Keduanya tersenyum lalu mempersilakan Djatta dan Kambang naik. Dengan sebatang rotan, Bue mengendalikan laju empat pelanduk yang menarik kereta dengan cepat.
Keluar dari wilayah hutan, terbentang padang ilalang yang bertabur bunga putih anggrek hutan. Pendar matahari yang hampir tenggelam melukiskan semburat jingga keemasan. Kambang tak bisa menyembunyikan wajah takjubnya.
“Sudah kubilang, kan. Inilah lukisan alam yang tak banyak diketahui orang.”
Lampion yang bertabur di atas hamparan puyak, pasir berkilau perak, menghias malam yang baru menyapa. Lagi, Kambang terpana.
“Purnama ketujuh segera terlihat.”
Tepat setelah Djatta menutup kalimatnya dan kereta tiba di Madara, barisan jukung telah memenuhi pesisir Barito. Arwana merah raksasa, haruan, jelapat, dipimpin buaya putih siap menyambut sang panglima burung.
“O lo lo lo lo lo lo lo … kiu … “
Kepala suku Dayak segera memimpin melahap, memekikkan sambutan untuk tamu kehormatan.
Teriakan sahutan menggema di langit malam. Bulan purnama muncul perlahan. Djatta, Kambang, Bue, dan Tambi telah berdiri di tengah lingkaran.
“Purnama, saksikan bakti kami kepada alam.” Suara lantang dari pemuda bermahkota kepala burung Enggang sambil mengangkat tombaknya. Pemuda lain segera bersiap melempar tombak, melepas busur, dan meniup sumpit. Tiba-tiba tubuh Djatta mengambang di udara, Kambang ikut melayang. Sinar biru keperakan bertabur di tubuh pasangan itu. Trah panglima telah diturunkan.
“O lo lo lo lo lo lo lo … kiu … “
Setelah sahutan kembali bergema, seberkas cahaya merah melesat ke pusat bulan dan upacara seketika lenyap.
***
“Perlu bantuan, Pak?” sapa Djatta kepada seorang lelaki paruh baya yang sedang berburu sinyal.
“Lain kali, bila perjalanan jauh melewati hutan, jangan membawa ketan dan telur. Jika terpaksa, bagikan sedikit kepada mereka yang sedang kelaparan.”
“Lalu upacara tadi?” Djatta dan Kambang tersenyum lalu melangkah ke belakang mobil dan mendorongnya bersamaan.
“Berhenti, Pak. Bilang terima kasih dulu,” ucap istrinya.
Djatta dan Kambang tak lagi nampak di penglihatan. Hanya bayangan dua ekor burung terbang di bawah sinar bulan.
“Ternyata benar, Bu. Kampung Madara itu nyata.” Hanya mereka yang beruntung yang bisa melihatnya.
#AjangFikminJoeraganArtikel2021
Editor: Dina Ananti