Joeragan artikel

Proposal

Oleh Wien Purwandini

Entah sudah berapa kali Azka mengaduk-aduk isi ranselnya, namun tetap saja proposal bersampul biru itu tidak ditemukannya. Panik dan kesal membuncah membuat tubuh Azka berkeringat hingga kemejanya basah.

Ia bingung mengapa proposal yang sudah ia kerjakan berhari-hari tak ada di ranselnya. Padahal ia yakin semalam proposal tersebut sudah ia masukkan bersama buku pelajaran lainnya.

Azka berusaha menenangkan diri. Duduk dan menarik napas lalu beristighfar. Tak dipedulikannya beberapa kawan yang masuk ke kelas. Ruang kelas mulai terisi karena jam istirahat akan segera usai.

“Azka, kau kenapa? Wajahmu kok aneh?”

Azka mengalihkan pandangannya ke Rafa, sahabatnya yang tiba-tiba ada di sebelahnya.

“Proposalku gak ada di ranselku, Fa.” jawab Azka setengah berbisik.

“Serius? Kamu yakin nggak lupa membawanya? Nggak tertinggal di rumah? Atau tercecer di suatu tempat?” cecar Rafa. “Coba deh kau hubungi mamamu di rumah dan tanyakan.”

“Sudah, tapi nggak ada. Lagipula aku nggak singgah kemana-mana waktu aku berangkat sekolah.”

“Sudahlah, nanti kita cari lagi. Tuh, Pak Rahmat sudah datang. Sebaiknya kita konsentrasi dulu sama soal-soal matematikanya yang super rumit itu,” ujar Rafa sambil menepuk pundak Azka lalu menuju tempat duduknya.

Usai jam pelajaran matematika, Rafa mendekati Azka.

“Ka, kau tidak curiga ada yang melakukan sabotase?”

“Sabotase? Maksudmu?”

“Sabotase supaya kamu nggak bisa memasukkan proposal itu dan akhirnya kamu gagal mendapatkan beasiswa.”

“Ah, masa sih ada yang seperti itu?”

“Narendra kan mengajukan juga, Ka. Di kelas ini hanya kau, aku dan Narendra yang mengajukan.”

Azka mengalihkan pandangannya ke arah Narendra yang masih asyik mengerjakan soal matematika yang diberikan pak Rahmat tadi.

“Namun, jika benar Narendra, mengapa harus seperti itu? Bukannya bisa bersaing secara sehat?”

“Nilainya nggak sebagus nilaimu dan dia sangat mengejar kesempatan itu!”

Azka memandang Rafa. Seperti mencoba mencari kebenaran ucapan Rafa.

“Terus aku harus gimana, dong. Hari ini terakhir penyerahan proposalnya. Kalau cuma proposal sih aku bisa print lagi. Namun, berkas penunjang lainnya? Mana sempat aku urus ulang?”

Tiba-tiba Azka menuju bangku Narendra dengan wajah kesal. Rafa berusaha menahannya namun tak berhasil.

“Rendra, kau mengambil proposalku?” tanya Azka setengah membentak.

“Aku? Mengambil proposalmu? Proposal apa, Azka?” tanya Narendra terkejut.

“Proposal pengajuan beasiswa. Kamu nggak perlu melakukan hal seburuk itu. Kita bersaing sehat

“Aku nggak ngerti maksudmu, Ka!”

Ketegangan semakin terasa diantara mereka. Semua memandang mereka bertiga dengan penuh tanya.

Tiba-tiba pak Usman, tenaga administrasi sekolah masuk ke kelas.

“Azka, Narendra dan Rafa diminta menghadap bu Nita dengan membawa proposalnya masing-masing.”

Azka mendengkus kesal. Ia sangat yakin kesempatannya sudah hilang. Ingin rasanya ia berteriak dan memukul Narendra.

Sementara Narendra mengambil proposal di tasnya, memandang Azka tajam lalu keluar kelas menuju ruang guru.

Ayo, kita menghadap bu Nita bareng. Semoga kau bisa menyusulkan proposalmu. Tunggu sebentar. Aku ambil proposalku dulu,” ujar Rafa.

Rafa berjalan menuju mejanya. Membuka tas dan mengambil proposal miliknya diantara buku-buku pelajaran dan proposal Azka.

“Aku harus mendapatkan beasiswa itu. Bukan kamu, Azka!” ujarnya dalam hati, sambil memandang Azka yang wajahnya berlumur kecewa sebab kesempatannya menguap.

 

#ajangfikminjoeraganartikel2021

#proposal

#Day4

Editor : Dian Hendrawan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami