Oleh: Etika Amatusholihah
Qudink berjalan gagah super percaya diri. Layaknya seorang kesatria dari negeri dongeng, yang ingin menyelamatkan istana kerajaan. Langkah kakinya mantap dengan hentakan berat yang selalu meninggalkan suara ‘trap-trap-trap’ ketika berjalan.
Qudink memandang dengan binar mata bak elang yang fokus bila melihat sesuatu. Tak lupa, senyum lebarnya ditampakkan pada semua orang yang berpapasan dengannya.
Ah, ramahnya si Qudink , ia menyapa satu-persatu orang. Tukang becak, tukang ojek, dan juga Tante Kunti penjaga kuburan di komplek pemakaman disapanya penuh mesra. Mereka ikut tersenyum seperti Qudink, bahkan tertawa juga.
Lewat pengkolan depan gang, Qudink bertemu Cacay , preman kampung yang beraninya hanya ngetem di pengkolan saja dan hebatnya tanpa anak buah.
“Woy Dink, mo kemane loe?” tanya Cacay bergaya jagoan sambil telak pinggang.
“Ihiy, Bang Cacay kepo, hahaha,” tawa Qudink sambil mengajak Cacay salaman.
“Heh, gue nanya serius , tahu!” teriak Cacay melotot menunjukkan marahnya dan menangkis tangan Qudink yang mengajaknya salaman.
“Aduh, galak bingitz sih, akikah mau ke sonoh, Bang,” jawab Qudink berlogat bencong menunjuk ke sebuah rumah.
“ Ah, bodo. Pokoknye, loe boleh lewat kalo udah ngasih goceng ke gue. Kalau kagak, gue tonjok neh!” ancam Cacay menunjukkan kepalan yang di punggung tangannya ada tato Hello Kitty berwarna merah.
Qudink kaget melihatnya dan menahan tawa. Toh akhirnya, ia terpaksa memberi duit sejumlah yang diminta Cacay. Ia hanya tidak mau ribut. Kalau sama si Jalu ayam jago peliharaannya sih, oke lah. Cacay pun mempersilakan Qudink melanjutkan perjalanan setelah serah terima duit selesai dilakukan.
Qudink pergi menuju rumah Mpok Elly, penjual kijing terpedas dan termaknyus di kampungnya. Sesampainya di sana, Qudink menyapa Mpok Elly dengan senyum khasnya.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokaatuh Mpok Elly, bagaimana kabarnya hari ini? Semoga sehat dan bahagia selalu serta dilimpahkan rezeki yang barokah, Aamiin.”
“Hahaha … Qudink, lengkap amat salamnye ama doa-doa. Kayak ustaz aje, loh. Waalaikumsalam. Ada ape?” tanya Mpok Elly sumringah.
“Anu, kata mami, di suruh ambil pesanan kijing mateng, buat arisan ntar sore, sejumlah dua ember. Apakah sudah siap, mpok?”
“Apa, mami? Hahaha … udeh, bentar ye, mpok ambil.” Mpok Elly berjalan ke dapur mengambil dua ember kijing dan dibawanya ke luar. “Oh iye, kembalinya kan kemaren kurang dua puluh ribu, dan …”
“Oh, iya kata mami, kembaliannya juga belum, Mpok. Saya di suruh ambil sekalian, soalnya buat beli kerupuk di warung Mak Ipung.”
“Heh, berarti anak gue, belom balikin?” teriak Mpok Elly kaget. “Lama-lama, kurang ajar juga tuh anak!” keluhnya.
Qudink berusaha meredam amarah Mpok Elly yang sepertinya kesal dengan polah anaknya. Qudink membacakan ayat kursi dan dalil-dalil tentang menahan amarah untuk Mpok Elly. Alhamdulillah, amarahnya sedikit reda.
Setelah kedua ember kijing siap. Qudink pun pamit. Mpok Elly mengajaknya jalan bareng sampai ke pengkolan depan gang, katanya ada keperluan mendadak. Qudink jadi khawatir, takut ada apa-apa dengan Mpok Elly karena di sana ada preman yang ditakuti masyarakat sekampung. Mpok Elly nggak bakalan aman dan pasti nanti kena palak seperti aku, cemasnya.
Demi menjaga Mpok Elly. Qudink pun menemaninya melewati pengkolan gang sebelah. Padahal sebenarnya, Ia tidak pulang lewat arah itu. Benar saja, ketika melewati pengkolan mereka langsung di hadang si preman itu lagi.
Qudink mundur beberapa langkah ketika si Cacay mulai mendekatinya, namun Mpok Elly justru maju dan memukul serta menjewernya dengan membabi buta.
Qudink kaget bukan kepalang, hebat benar Mpok Elly, beraninya luar biasa. Preman sangar sehebat itu, tak berkutik sama sekali melawan Mpok Elly. Waw … Benar-benar wonder woman, gumannya.
“Nih, lunas utang gue ke emak loe. Pulang sana. Aman loe lewat sini. Assalamualaikum,” ucap Mpok Elly sambil memberikan Qudink selembar uang dua puluh ribuan yang diminta paksa dari Cacay. Qudink melihat si Cacay merintih kesakitan di jewer Mpok Elly.
“Waalaikumsalam.” Gile, si mpok preman juga, ujarnya dalam hati.
“Ini uang siapa mpok?” tanya Qudink memastikan.
“Uang emak loe, yang diambil nih bocah tengil,” jawab Mpok Elly.
“Ha, mamiku pernah dipalak juga?” Qudink bingung. Walau ragu menerimanya, Ia berterima kasih dan melanjutkan perjalanan ke warung Mak Ipung untuk membeli kerupuk. Ia masih terpukau dengan aksi Mpok Elly yang bisa mengalahkan si preman dengan mudahnya.
Di warung Mak Ipung, Qudink baru tahu bahwa Si Cacay itu ternyata anak Mpok Elly.
“Huahaha … pantesan,” tawanya dengan keras.
***