Suara riuh rendah terdengar dari gazebo di teras belakang rumah. Di sana sedang berkumpul keluarga besar Bayu yang hampir semuanya menampakkan wajah cemas dan murung. Kecuali Opa yang tertidur di kursi roda dan Bayu yang sedang membaca buku di dekatnya.
Dua hari lagi, nasib Papa Bayu dipertaruhkan. Apakah dihukum mati atau dipenjara seumur hidup. Hampir dua puluh tahun papanya di penjara atas tuduhan makar. Keluarga besar dan berbagai pihak yang membantu telah berusaha semaksimal mungkin, tetapi belum membuahkan hasil. Semua saksi dan bukti yang dihadirkan seolah mengarah kepada Papa Bayu. Apalagi adanya bukti paling memberatkan yaitu pin miliknya yang ditemukan di area TKP.
Bayu sengaja tidak bergabung dengan keluarga besarnya karena ia sedang fokus memikirkan cara untuk membantu ayahnya. Rautnya tampak sedikit gelisah seperti menunggu seseorang
“Bagaimana keadaanmu sekarang, Beb? Sudah menemukan bukti baru?” tanya Om Reza, sahabat karib papanya yang baru datang dari Jakarta.
“Alhamdulillah, baik. Masih belum ada kejelasan, Om, ” jawab Bayu mencoba tersenyum. Om Reza memeluknya hangat seolah memberinya kekuatan.
Malam itu berakhir dengan keheningan.
***
Tengah malam saat kantuk mulai menyerang, Bayu mendadak dikejutkan dengan pemandangan yang luar biasa. Bayu melihat Opa sedang berjalan di kamarnya tanpa bantuan tongkat dan tampak lebih muda.
Benarkah itu Opa?! Apa yang dilakukannya? batin Bayu penasaran.
Sambil memicingkan mata, disimaknya semua hal yang dilakukan Opa dengan seksama. Bayu tidak mau kakeknya kaget karena kepergok.
“Sudahlah, bangun. Sini bantu Opa,” ucap Opa seolah tahu kalau Bayu sedang memperhatikannya,”Mau Opa bangunin atau bangun sendiri? Sini temani, Opa. Cepatlah!” lanjut Opa mengisyaratkan Bayu untuk mendekat.
Masih dalam situasi kebingungan, Bayu akhirnya bangun dari tidur dan menghampiri Opa, seraya mengamati situasi kamar yang terasa aneh.
“Kita di mana, Opa? Ini kamar siapa?” tanya Bayu dengan nada linglung.
“Di masa lalu. Coba lihat kalender di meja tahun berapa sekarang?” ucap Opa menunjuk almanak di sebelah Bayu.
“Tahun 1978? Enggak salah, Opa?!” seru Bayu keheranan sambil matanya terus mengamati properti di kamar. Opa hanya tersenyum memandang Bayu yang terkesima.
“Iya, Beb. Sekarang sudah saatnya kamu mengetahui semuanya. Ini adalah ruang pribadi ayahmu sebelum dirusak oleh oknum tak dikenal dan menyebabkannya di penjara,” papar Opa dengan mata berkaca-kaca.
“Ini mesin waktu yang dibuat ayahmu sebelum masuk penjara. Ia berpesan untuk memberikan padamu saat berusia 20 tahun sebagai kado. Hari ini tepat di umurmu yang kedua puluh, Opa serahkan untukmu,” ucap Opa menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna hitam berukuran 5cm x 7cm x 8cm itu seraya memeluk dan membelai Bayu dengan lembut.
Bayu menerimanya dengan tangan sedikit gemetar. Rasa haru menyeruak di dasar batinnya. Kerinduan terhadap papanya yang selama ini dipendam mendadak mencuat. Didekapnya mesin waktu itu dengan segenap perasaan seolah sedang memeluk sang papa.
Tiba-tiba lintasan demi lintasan peristiwa masa lalu terpampang jelas di hadapan Bayu. Bagaikan menonton adegan film di bioskop, ia menyaksikan semua kejadian yang sudah dilewati ayahnya. Hingga Bayu tersentak pada sebuah kenyataan bahwa ayahnya tidak bersalah sama sekali.
Mesin waktu itu telah memberikan bukti kebenaran. Papa Bayu telah difitnah dengan sengaja. Ia hanyalah korban dari ambisi sahabatnya sendiri yang iri dengan kariernya. Om, Reza!
Ya Tuhan, Om Reza ternyata sengaja mencuri pin milik Papa dan menaruhnya di lantai ruang rapat komisaris sebagai alibi. Kenapa Om Reza setega itu kepada Papa? rintih hati Bayu sedih menghadapi kenyataan itu.
Remaja itu hampir tidak percaya dengan yang dilihatnya. Sejak kecil ia mengenal Om Reza sebagai lelaki yang baik, sosok ayah ideal. Pria matang yang mengangkatnya sebagai anak dan membiayai sekolahnya hingga ke luar negeri.
“Apa rencanamu sekarang?” tanya Opa mengingatkan Bayu yang diam termenung.
“Aku akan menjebak Om Reza agar mengakui perbuatannya dan merekamnya. Sepertinya hanya itu satu-satunya cara, Opa,” papar Bayu.
“Ide bagus. Lakukan dan berhati-hatilah,” kata Opa menasehati,”Satu lagi, gunakan mesin waktu untuk kebaikan,” lanjutnya seraya menepuk bahu Bayu.
“Terima kasih, Opa. Tolong, doakan Bayu,” ucap Bayu memeluk kakeknya dengan berurai air mata. Dalam hatinya ia berjanji akan mengungkap kejahatan Om Reza.
Bandung, 19 April 2019
***