Titik Jeha
Vita terlihat letih. Dia baru pulang dari menjenguk ibunya di kampung. Aku tidak bisa mengantar Vita karena ada beberapa urusan yang harus selesai.
“Istriku, Sayang. Aku rindu sekali,” kataku langsung menariknya ke dalam pelukan.
“Kamu ini, Mas. Baru juga tiga hari enggak ketemu,” ucap Vita seraya mencubit dadaku dengan manja.
Aku dan Vita tertawa bersama. Bahagia.
***
Sore itu aku mengajak Vita untuk memeriksakan diri ke dokter. Aku sangat khawatir pada kondisi kesehatannya yang beberapa hari ini tampak buruk. Sudah sekitar seminggu dia mengeluh pusing dan mual-mual. Bahkan, kemarin Vita sempat pingsan.
“Tenang, Pak Zul. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Istri bapak baik-baik saja,” papar Dokter Hendi tersenyum.
“Bagaimana saya bisa tenang, Dok. Kemarin dia sempat pingsan,” kataku menjelaskan.
“Begini, Pak. Bu Vita saat ini sedang hamil, usianya sekitar lima minggu. Jadi, Pak Zul tidak usah panik. Gejala yang dialami ibu itu normal. Selamat, ya, Pak, Bu.”
“Alhamdulillah, terima kasih, Dok,” kataku dengan perasaan senang yang tak bisa terlukiskan.
Kuelus perut Vita perlahan dan kucium keningnya dengan penuh kasih sayang. Perempuan itu, tersenyum. Penantian itu akhirnya terjawab.
***
Kini kebahagiaan kian lengkap. Setelah anak pertamaku berumur setahun, Vita melahirkan anak kedua. Perempuan.
Aku tetap bersyukur dan tidak kecewa meskipun kedua anakku perempuan. Aku merasa menjadi laki-laki sempurna. Bukan saja sebagai suami tetapi juga seorang ayah. Rencananya, untuk anak ke tiga nanti akan ikut program dokter sebagai bentuk usaha mendapatkan anak laki-laki.
Seiring waktu berjalan, karirku meningkat dan kehidupan pun berubah semakin membaik. Aku berusaha selalu bekerja semaksimal mungkin, demi mencukupi kebutuhan dan memberikan yang terbaik untuk keluarga. Vita dan kedua anakkulah penyemangat kerja.
Hingga siang itu.
“Bagaimana diagnosanya, Dok?” tanyaku penasaran. Aku sudah menunggunya beberapa minggu setelah mengikuti serangkaian pemeriksaan dokter.
“Sabar, Pak Zul. Saya harus memastikan dulu hasil pemeriksaan dari laboratorium. Silakan tunggu sebentar,” kata dokter membuatku gelisah.
“Apakah diagnosanya tidak keliru, Dok? Jangan-jangan ada kesalahan. Coba dicek sekali lagi. Kalau perlu dilakukan pemeriksaan ulang,” ucapku tidak percaya pada penjelasan dokter yang memvonisku mandul.
Hatiku mulai tidak tenang. Dada sesak didera gundah gelisah. Pikiranku melayang pada Vita dan kedua anakku. Bagaimana mungkin aku mandul? Vita hamil dan aku punya dua anak.
Akhirnya, aku memutuskan untuk tidak kembali ke kantor dan pulang. Kecamuk emosi yang silang sengkarut memenuhi kepala. Penat, pusing, galau, marah, murka, kecewa, luka. Aku sangat bingung, tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa. Mungkinkah Vita? Lalu anak-anak itu?
Kulirik jam menunjukkan angka dua belas lewat sepuluh. Pintu pagar terkunci. Untung saja aku selalu membawa kunci duplikat yang tersimpan di tas kerja.
Rumah tampak sepi. Hanya terdengar suara TV yang menyala. Mungkin Vita dan anak-anak sedang menonton televisi lalu ketiduran, atau barangkali tidur siang di kamar dan lupa mematikannya. Maklum, situasi hujan yang turun sejak pagi belum berhenti.
Kubuka pintu depan dengan hati-hati, takut membangunkan dan mengganggu mereka.
Saat kaki hendak melangkah, samar-samar kudengar suara lenguhan yang aneh dari arah samping depan, sepertinya berasal dari ruang tamu.
Pelan-pelan aku berjalan menyusuri koridor kecil menuju ruang tamu untuk meyakinkan pendengaranku. Benar saja, suara itu semakin jelas diiringi desahan yang bersahutan.
Sejenak aliran darahku berhenti. Dadaku riuh bergemuruh, badan menggigil, dan gemetar. Terekam jelas di benakku sepasang manusia tengah berburu kenikmatan sesaat tanpa busana.
Keringat dingin mengalir deras. Mulut ingin berteriak namun kerongkonganku seolah tercekat. Aku terduduk lunglai tak berdaya, tak sanggup menyaksikan prasangka buruk yang muncul di kepala menjadi nyata di depan mata. Vitaku telah menukar kehormatan dengan setetes mani tetangga.
Kucoba untuk mengumpulkan kekuatan yang tersisa dan membawa pergi segala amuk rasa yang bergejolak di dada entah ke mana.
Apa dosaku, Tuhan?
Bandung, 23 Januari 2019