Namaku Mira.
Sudah dua tahun ini aku menjadi guru honorer di sebuah sekolah menengah di kotaku.
Mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris, menjadi tugasku di tempat ini. Meski gajiku kecil, aku tak pernah mempermasalahkan hal tersebut karena mengajar merupakan suatu hal yang aku senangi sehingga aku mengerjakannya dengan senang hati.
Suamiku sangat mendukung saat aku mengutarakan keinginanku untuk mengajar. Alfi, putra bungsu kami, memasuki usia tk. Baginya selama aku bisa mengatur waktu antara keluarga dan tugas sekolah, maka tidak ada masalah.
Seperti biasa, hari ini aku bersiap-siap untuk pergi mengajar.
Setelah membuat sarapan, menyiapkan Alfi yang akan berangkat bersamaku dan memastikan rumah sudah rapi, aku pun mengambil kunci motor yang tergantung di dinding ruang tengah.
Biasanya aku pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Selain karena memang jarak sekolah dari rumah tidak terlalu jauh, kupikir bisa sekalian olah raga pagi.
Namun, hari ini aku agak malas berjalan kaki sehingga bermaksud mau mengendarai motor saja sambil membonceng Alfi, mengantarnya ke sekolah yang berdekatan dengan tempatku mengajar.
“Alfiii! Sudah siap belum? Sudah siang, nih! Ayo cepat! Nanti terlambat!” seruku pada Alfi.
“Iya Bun, aku sudah siap, kok!” balas Alfi sambil berlari keluar mendahuluiku menuju motor yang sudah diparkir di depan rumah.
Setelah memastikan rumah sudah terkunci, aku mulai menghidupkan sepeda motor, dan Alfi loncat naik di depanku.
“Ayo berdoa dulu sebelum pergi,” ajakku pada Alfi yang langsung mengikutiku membaca doa naik kendaraan.
Sepeda motor pun meluncur menuju sekolah. Begitu sampai, aku memarkirkan sepeda motor dulu di sekolah baru mengantarkan Alfi dengan berjalan kaki ke sekolahnya.
***
Hari sudah menjelang siang saat aku selesai mengajar. Di luar udara sangat panas, matahari bersinar dengan terik.
Aku berpamitan dengan rekan lain, sambil menggamit tas, aku berjalan menjemput Alfi di sekolahnya. Tampak dia telah lama menungguku di depan pintu gerbang sekolah.
“Ayo Bunda, cepetan! Panas nih! Aku pengin buru-buru sampai di rumah!” serunya begitu melihat aku muncul di hadapannya.
“Iya, ini juga, kan mau pulang. Yuk, pamit dulu sama ibu guru.”
Kami pun akhirnya berjalan menyusuri jalan raya menuju rumah. Sesekali Alfi berlari mendahuluiku.
Sesampainya di depan rumah, aku mengeluarkan anak kunci, bermaksud membuka gembok pagar rumah yang terkunci dari luar.
“Loh, bukannya ini kunci motor? Kenapa ada di di sini?” tanyaku sedikit bingung sambil mengamati anak kunci di tangan.
“Astaghfirullah … !” pekikku tanpa sadar saat menyadari sesuatu.
“Aku kan bawa motor dari rumah tadi pagi.”
“Kenapa aku pulang, jalan kaki?”
Lututku langsung lemas membayangkan harus kembali jalan kaki ke sekolah untuk mengambil motor yang tertinggal disana.
Tangerang, 8 Januari 2019
Foto by pixabay