Malam kian menggelap tanpa percikan cahaya gemintang. Jalanan mulai sepi, hanya beberapa pick up pengangkut sayur yang menuju pasar. Sinar lampu jalanan yang berpijar terkadang bercanda bersama liukan angin.
Kamu mengaduk kopi perlahan. Anganmu mengikuti asap yang mengepul di udara menjumpai lelaki tua yang selalu kau kagumi.
“Ngopi disik. Ngolah pikir iku perlu ketenangan. Angin, jangkrik, kadang tokek bisa jadi temanmu memaknai jalan kehidupan.”
Satu pesan kakek itu selalu hadir ketika gulana mendera hatimu.
“Bang Radit, temui Dinda. Bawa dia ke sini biar temani Kirana dan Putri belajar,” pinta Ratih, istrimu, dua hari lalu sepulang dari rumah sakit.
Tindakan SC harus dilakukan untuk mengeluarkan jabang bayi kalian yang tak bisa diselamatkan, setelah sebuah sedan menyeret tubuh Ratih hampir 200 meter. Luka di mana-mana ditambah sayatan pisau di perutnya, membuat ngilu hingga ulu hatinya. Hatimu juga, bagai teriris sembilu ketika dokter mengatakan bahwa keretakan pada tulang belakang Ratih bisa berakibat kelumpuhan.
“Maafkan aku, Ratih. Andai aku bisa mengantarmu belanja saat itu, pasti kamu tak kelelahan, lalu pusing. Seharusnya aku ada di sampingmu hingga bisa menghindar dari terjangan mobil anak ABG yang mabuk,” sesalmu sambil memijat kakinya mengikuti saran dokter, bahwa sentuhan pada kaki akan tetap membuat syaraf Ratih bekerja menerima rangsang.
Anak sungai kembali mengalir seperti hujan yang menderas malam itu. Istrimu memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, melupakan rasa sakitnya.
“Ayah, Bunda menangis. Sepertinya kesakitan.”
Tengah malam, Kirana membangunkanmu dalam lelap sekejap di atas sofa. Pertandingan sepakbola kesukaanmu bahkan belum usai.
Engkau tergagap lalu dengan cepat mamasang sarung dan berlari ke kamar. Ratih tetap tersenyum, meski raut mukanya menyiratkan rasa sakit yang luar biasa.
“Mau apa?” tawarmu. Namun, tetap dijawab dengan gelengan. Semenjak engkau turuti permintaannya untuk membawa Dinda, Ratih lebih nyaman dilayani oleh adik tingkatnya semasa kuliah.
“Panggilkan dua bidadari kita, Bang,” ucap Ratih lemah. Tak lama Putri yang masih TK, mengucek matanya yang digelayuti kantuk.
“Biarkan mereka menemaniku malam ini. Aku ingin membacakan cerita untuk mereka. Abang bisa siapkan menu sahur sendiri, kan?” kata Ratih perlahan.
Engkau pun segera beranjak dari tepi dipan. Lama-lama kau kecup istrimu. Sesungguhnya, engkau tak tega meninggalkan mereka. Tetapi, kau memilih menuruti permintaan Ratih demi membuatnya senang.
“Bukankah hati yang bahagia menjadi sebaik-baik obat dan terapi berbagai macam penyakit?” terngiang kembali ucapan dokter yang merawatnya.
“Bang Radit ajak Dinda sahur bersama. Setelah itu bangunkan aku, ya. Ajak Dinda berjamaah shubuh di sini,” pintanya lagi.
Kamu dan Ratih sama-sama tak mau merepotkan orang lain selama bisa melakukan apapun sendiri. Kehadiran Dinda menjadi pengecualian.
“Maafkan kami, selalu merepotkanmu. Andai Ratih tak meminta pun, aku masih sanggup merawatnya,” sesalmu telah melibatkan Dinda yang harus melepas pekerjaannya demi menemani Ratih.
“Tak apa, Bang. Justru ini kesempatan Dinda berterima kasih kepada Mbak Ratih. Selama tinggal dalam satu kamar kos, Mbak Ratih banyak membantu Dinda. Bahkan, tak mampu menghitung kebaikannya.”
“Menikahlah, Bang. Inshaallah, Abang akan bahagia bersama Dinda. Pastinya Kirana dan Putri juga,” ucap Ratih setelah berjamaah. Kamu tak kuasa menahan linangan air mata setelah mentalqinnya menuju surga.
***
Editor
Fitri Junita
#Day10
#TemaIkhlas