Joeragan artikel

Perpisahan

 

Berulang kali kubaca surat itu, larik demi larik, bahkan kata demi kata untuk memahami isinya. Seakan tak percaya, tetapi begitulah adanya. Surat itu menyatakan cinta dan harapan Ken kepadaku.

Ya, Tuhan! Bagaimana mungkin?

Aku menatap detail wajahku di cermin mencoba mencari jawaban atas semua yang terjadi dari pantulan cahaya itu.

Ken, dia anak Teknik Sipil tingkat akhir. Di kampus, aku tidak mengenalnya karena berbeda fakultas dan jurusan. Aku tahu dan kenal Ken saat ia KKN di kampungku. Ketika itu, Ken sebagai ketua kelompok mahasiswa KKN, sedangkan aku sekretaris Karang Taruna.

Ken cukup populer di kampungku, terutama di kalangan gadis-gadis. Sosoknya kharismatik, humoris, dan ganteng. Rambutnya hitam, agak ikal dengan panjang sebahu. Penampilannya selalu rapi, meskipun saat berbusana kasual. Sejak perkenalan itu, aku kian akrab dengan Ken. Maklum, hampir di semua kegiatan KKN aku terlibat aktif.

Aku menatap tajam ke dalam mata bundar yang ada di depanku dengan harapan menemukan apa yang kucari. Di sana ada dua bayangan lelaki yang sama-sama menarik dan aku berdiri di tengah.

KKN telah berlalu dan hari ini, Ken mampir mencariku hanya untuk menyerahkan secarik kertas berwarna biru muda yang terlipat di dalam amplop putih. Surat yang baru saja selesai kubaca tentang ungkapan perasaannya. Ken ingin membina hubungan serius denganku.

***
Sejenak kulupakan Ken yang menunggu jawaban. Hari ini aku ada janji dengan sahabatku, Frans, bule Perancis yang kuliah di kampus sebelah. Aku mengenalnya saat ada lomba menulis esai dalam rangka dies natalis kampusnya. Aku sebagai peserta dan Frans menjadi panitia.

Frans sering ke rumah. Hampir tiap minggu dia tidak pernah absen mengunjungiku. Frans telah menyita hari-hariku dengan perhatiannya yang membuatku merasa melambung.

Frans yang ramah dan humoris membuat seisi rumah menyukainya. Dia sangat tahu bagaimana cara membuat orang-orang di sekitarnya terkesan. Apalagi Frans sudah pandai berbahasa Indonesia. Aku makin terpesona dibuatnya.

Sore itu, menjelang kepulangannya, Frans memberiku bingkisan seperti biasanya. Salah satu yang kusuka dari Frans. Dia selalu punya kejutan.

“Boleh aku tanya sesuatu yang pribadi, Vi?” tanyanya dengan nada ragu. Seperti ada yang mengganjal di hatinya.

“Apakah kamu sudah punya cowok? Maksudku seorang pacar?” Aku tertawa mendengar pertanyaannya.

“Kenapa tertawa? Apakah ada yang lucu? Aku serius, Vi,” cecarnya seraya memandangku tak enak. Jelas sekali dia merasa tersinggung.

Frans menatapku sedih dengan mimik murung. Bibirnya terkunci dan mata cokelatnya tampak berkaca-kaca. Aku pura-pura tak melihat, meskipun tidak enak hati.

“Sori, Frans. Bukan maksudku menertawakanmu. Aku belum punya pacar, kok. Oya, apa rencanamu Natal tahun ini?” tanyaku mencoba mencairkan suasana yang terasa kaku.

“Aku pasti berkumpul dengan keluarga, Vi. Entah di Paris atau Jakarta, sampai sekarang belum ada keputusan,” jawab Frans datar. Awan yang tadi menutup wajahnya mulai memudar.

“Lalu, kriteria cowok seperti apa yang menjadi impianmu? Tolong katakan padaku,” pintanya merajuk.

Dadaku berdesir lembut. Pertanyaannya seakan mengisyaratkan sesuatu. Kutatap kedua mata Frans yang teduh itu dan menerjemahkan setiap kata yang diucapkannya.

“Kriteria yang pertama dan wajib ain adalah seiman,” jawabku dengan yakin berharap Frans bisa memahami.

“Apa itu wajib ain?” tanyanya mengernyitkan dahi.

“Wajib ain itu mutlak, harus, harga mati,” jawabku menjelaskan.

“Baiklah, terima kasih, Vi. Sampai jumpa!” ucap Frans melambaikan tangan melangkah pergi.

***

Seminggu sudah aku tak bertemu Frans. Aku merasa ada sesuatu yang hilang dari hatiku. Apakah ini berarti aku ada hati pada Frans? Lantas bagaimana perasaanku pada Ken? Aku bingung memikirkannya.

Tiba-tiba aku ingat pada sebuah surat yang baru kuterima hari ini. Kuambil surat itu. DKM Masjid Istiqlal? Tidak salah, nih? Penasaran kubuka surat itu perlahan.

Dadaku bergemuruh, berdegup kencang membaca isinya. Di surat itu tertulis dengan jelas bahwa pada hari Jumat kemarin, Frans telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan namanya menjadi Ahmad Frans. Tak terasa air mata haru menetes di pipiku membayangkan Frans.

***

Dua minggu berlalu sejak surat pemberitahuan tentang prosesi mualaf Frans.

“Assalamualaikum.” Sebuah suara yang sangat akrab di telinga mengganggu konsentrasiku menulis. Frans sudah berdiri di pintu dengan setelan yang berbeda.

Rambut pirangnya yang panjang telah dipotong rapi dengan kopiah hitam di kepala. Memakai baju koko panjang warna putih. Tak ketinggalan sebuah payung yang selalu menemaninya pergi. Aku terpana memandangnya. Astagfirullah!

“Waalaikumsalam … silakan masuk,” ucapku agak gugup. Frans tersenyum.

“Selamat, ya, Frans. Kamu sekarang sudah menjadi seorang muslim. Semoga keberkahan selalu tmelimpah untukmu,” kataku kemudian.

“Terima kasih, Vi. Aku harap kamu mau mendampingiku belajar Alquran dan hadis.” Frans menatapku penuh harap. Aku tersenyum tak mampu menjawab harapan Frans. Ada sesuatu yang menghimpit di dada.

“Vi, a-a-da hal serius yang i-i-ngin a-a-ku bicarakan de-de-nganmu,” ucap Frans terbata. Aku heran mengamati tingkahnya yang aneh sejak pertama datang.

“Maukah kau menerima lamaranku?” ucapnya tiba-tiba membuatku mematung sejenak karena syok. Aku betul-betul kaget sekaligus bingung, teringat pada Ken yang semalam datang ke rumah.

Ken menemuiku hanya untuk menyatakan perasaannya dan menagih jawaban. Dia bilang tidak ingin pacaran, tetapi ingin menikahiku dan berharap bisa segera melamarku.

Malam tadi aku juga baru tahu kalau Frans adalah saudara angkat Ken. Selama di Indonesia, Frans tinggal dengan keluarga Ken. Hari ini Frans datang dengan maksud yang sama dengan Ken.

Ya, Allah! Aku harus bagaimana?

“Vio, kenapa diam? Kamu tidak suka denganku? Jijik dengan warna kulitku? Atau karena aku mualaf? Jawablah, Vi,” kata Frans dengan suara bergetar dan tatapan penuh harap.

“Aku sangat berharap bisa mengenalkanmu pada keluargaku tahun ini,” gumamnya lirih seraya menundukkan muka.

Kuhela napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Lalu dengan sekuat tenaga kujawab pertanyaan Frans.

“Frans, maaf. Aku tidak bisa menerima lamaranmu,” jawabku dengan bibir bergetar. Dadaku berdegup sangat kencang, peluh menyembul di dahi. Kutahan air mata yang hendak menitik dengan memejamkannya sejenak.

Kulirik Frans sekilas. Wajahnya menyiratkan kekecewaan yang dalam. Aku tak berani menatapnya langsung.

“Baiklah, Vi. Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Maafkan, aku, ya. Mungkin setelah ini kita tidak akan pernah bertemu lagi,” ucap Frans lirih tetapi terdengar jelas di telingaku. Ada isak yang tertahan di kalimatnya. Aku tahu.

“Maafkan aku, Frans,” kataku memegang kedua tangannya yang terasa sangat dingin.

“Assalamualaikum ….”

“Waalaikumsalam ….”

Aku menatap punggung Frans yang berjalan kian menjauh, hilang di balik tikungan bersama bayangan Ken yang kuhapus dari pikiranku.

Maafkan, aku Frans. Aku tak bisa memilih di antara kalian.

Bandung, 24 September 2019

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami