“Mas, aku minta es kelapa muda dicampur dengan alpukat,” celoteh Rara.
Siang ini memang cuaca terik, matahari terasa menyengat kulit. Setiap orang enggan keluar rumah. Sontak Parmin yang sedang asyik menikmati segelas jus jeruk, menghentikan kenikmatannya.
“Nanti saja Dik, masih panas, abang buatkan jus jeruk saja, ya?” rayu Parmin.
“Aku tak mau, jika enggak pergi maka mas harus berjongkok seharian di depan toilet,” ujar Rara mantap.
Parmin memilih pasrah dan menuruti kemauan Rara. Semenjak dinyatakan positif hamil tingkah istrinya membuat Parmin harus ekstra sabar. Masih beruntung kali ini Rara hanya meminta es kelapa muda campur alpukat. Parmin tak memahami mengapa perempuan hamil sering meminta sesuatu yang kadang di luar nalar dan mendadak. Seperti halnya kemarin ketika melihat sebuah acara, ia menginginkan acara tujuh bulanan tak seperti yang lainnya.
***
Tangan Rara gemulai memautkan setiap aksesoris jilbab merah muda pemberian Parmin. Ia memoles bibir dan wajahnya perlahan. Rara mengamati perubahan dalam dirinya. Pipi tembem dengan lesung pipi semakin mengembang. Wajah Rara yang dulunya berbinar menjadi redup. Ia mengoleskan lagi eyeshadow, eye liner dan blush on, namun tak membuat bibir kecil itu menyungging senyum.
“Mas …,” teriak Rara.
Mendengar pujaan hati memanggil, Parmin tak ingin membuatnya menunggu.
“ Iya Dik, ada apa?” sahutnya lembut.
“Mas, kenapa wajah Rara jadi tembem gini? Aku nggak mau keluar!”
“Kamu lucu Dik, orang hamil itu wajar kalau makin gendut. Nafsu makan bertambah itu pertanda normal, lo.”
Rara memang memiliki tubuh mungil, berambut lurus, hidung pesek, berpipi tirus dan lesung di pipi. Senyum Rara selalu merekah bagai bunga mawar merah, membuat siapapun yang melihat akan terpikat. Kehadiran Rara membuat suasana menjadi riuh karena sifatnya yang pelupa.
Rara segera bercermin.
“Benar, aku hamil. Aku lupa, Mas.” Rara terkekeh tanpa rasa berdosa. Khas. Bibir keatas tersenyum indah.
***
Semenjak pagi rumah Parmin dan Rara terlihat riuh. Kerabat dan tetangga telah sibuk mempersiapkan tujuh bulanan kehamilan Rara. Tradisi mitoni digelar untuk do’a bersama demi keselamatan calon bayi dan sang ibu.
Proses mitoni merupakan ritual yang dilakukan berurutan mulai dari sungkeman, siraman, hingga membagikan rujak kepada tamu undangan. Adat ini dijalankan dengan menyediakan beragam perlengkapan dengan jumlah tujuh seperti tujuh jarik, bubur tujuh warna, ketan tujuh rupa, hidangan yang dibungkus daun pisang, dan perlengkapan lainnya.
Kebahagiaan Rara tertoreh dalam senyum dari bibir mungilnya. Bola matanya berbinar indah. Berbeda dengan Parmin, ketika acara ritual tujuh bulanan selesai, batang hidungnya tak lagi tampak. Tamu undangan belum banyak yang meninggalkan acara, masih mengobrol sambil memakan rujak.
Rara mulai resah, ia meremas kain jarik basah yang melekat di tubuhnya. Dingin menyusup perlahan menyentuh kulit ari. Bola mata Rara mengabsen setiap sudut ruang, mencari Parmin yang tak kunjung datang.
Suasana rumah riuh namun hati Rara sendu. Rara merasa tak ada yang memahaminya. Bulir-bulir kristal terlihat mulai menggenang di pelupuk matanya. Tinggal menunggu jatuh membasahi pipi tembemnya.
Sudah seminggu sebelum acara tujuh bulanan sikap Parmin memang berbeda. Saat ini tiba-tiba ia menghilang tanpa pamit. Hati Rara semakin gundah, batinnya terusik saat kehamilannya semakin membesar. Sosok Parmin yang penuh kasih sayang kini menjadi misteri bagi Rara.
Rara beranjak menyepi, ia berdiri di dekat tiang pelataran rumah. Berharap kesunyian segera menjauh dan hatinya kembali tenang.
“Aaa …, “ teriak Rara kencang.
Mata Rara melotot, mulutnya menganga menyaksikan apa yang dilihat. Tubuhnya kaku membeku. Seketika Rara terjatuh, suaranya kian parau. Pandangan Rara tiba-tiba buram dan terenggutlah kesadarannya.
Sanak saudara menghampiri Rara yang jatuh terjerambah ke tanah. Pandangannya nanar menatap sosok yang berdiri mematung dihadapannya.
“Ini apa-apaan? Kenapa ada doraemon, mickey mouse, nony belanda dan hantu tak berkepala?” teriak Ayah Rara.
Sosok tak berkepala segera memeluk Rara namun di hadang ayah Rara. “Siapa kalian” hardik Ayah Rara.
Seorang laki-laki gagah berperawakan tinggi segera membuka kostum yang dikenakannya. Terlihat wajah pucat, ia syok dan tertunduk menyesali perbuatannya.
“Parmin!“ semua orang berteriak.
Siapa menyangka laki-laki yang membuat Rara terkapar adalah suaminya sendiri. Parmin yang melihat darah mengalir dari kedua paha Rara segera menggendong istrinya, bergegas ia ke rumah sakit.
“Rara bangun sayang, bukankah kamu yang meminta agar mas memakai kostum tanpa kepala? Apa kau lupa?” ucap Parmin. Deru nafasnya kembang kempis tak teratur. Ia berharap permintaan ngidam dan sifat pelupa pada istrinya tak menjadi petaka bagi keluarganya.
Permintaan Istri Kecil