Oleh Nita Yunsa
Aku adalah saksi bisu dalam pembunuhan sepasang suami istri di perumahan elit. Saat itu, usai makan malam keluarga, terjadi keributan di rumah tersebut. Sebenarnya, keributan memang selalu akrab terdengar di kediaman berlantai dua itu. Kedua korban adalah pasangan yang tidak harmonis dan gila kerja. Mereka juga sangat angkuh. Sang suami memiliki sifat yang keras dan kasar, sedangkan istrinya bermulut tajam. Sifat buruk tersebut sudah melukai hati banyak orang hingga tak heran jika benda tajam dari dapur menusuk tubuh keduanya.
Cairan kental berwarna merah dan berbau anyir dari tubuh mereka menyembur hingga mengotoriku. Aku merasakan sekujur tubuh Clarisa, pemilikku sekaligus putri tunggal dari pasangan suami istri itu, gemetar setelah menyaksikan kematian orang tuanya. Dia segera pergi dari rumah menuju kediaman pacarnya untuk melindungi diri.
Keesokan harinya, Clarisa dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Tak banyak yang dia ucapkan di ruang interogasi. Suaranya lirih, tangan dan kakinya terus gemetar hingga membuatku pun ikut bergetar.
Seorang polisi muncul di sela-sela interogasi dan berkata, “Lapor, Pak! Kita tidak perlu menunggu untuk menginterogasi pembantunya yang sedang pulang kampung, karena tersangkanya sudah tertangkap. Dia bahkan sudah mengaku telah membunuh Pak Andre dan Ibu Sintya karena sakit hati.”
Clarisa sontak berdiri. Aku merasakan denyut nadinya berdetak cepat. Dia segera melangkah ke luar ruangan dan mendapati sosok Boni, sopir keluarganya, tengah duduk memberi keterangan di depan meja polisi dengan kedua tangan di borgol. Clarisa hanya bisa memukuli tubuh Boni hingga terduduk lemah. Air mata Clarissa terus mengalir hingga membasahiku.
Lima tahun berlalu, aku masih setia menemani Clarisa yang sudah tumbuh dewasa. Wanita yang saat remaja lebih suka bermain, belanja, berpacaran, dan benci belajar itu justru sukses membuat perusahaan fashion mendiang ayahnya berkembang pesat. Walaupun aku sudah agak usang dengan aksesoris berbentuk hati yang ketinggalan zaman, tetapi Clarisa tetap menggunakanku untuk menghiasi pergelangan tangan putihnya.
Setelah makan siang, Clarisa menuju parkiran perusahaan. Namun, langkahnya terhenti oleh pacarnya yang memegang aku dan tangan Clarisa dengan erat.
“Lu mau ke mana?” tanya Jeremy, laki-laki yang baru enam bulan menjalin hubungan dengan Clarisa.
Clarisa menarik tangannya hingga genggaman Jeremy terlepas dan menjawab, “Gue mau ke Lapas.”
“Ngapain? Nengok laki-laki yang sudah bunuh orang tua Lu?” tanya Jeremy mengernyit.
Clarisa tampak menatap tajam Jeremy, lalu mendekatkan wajahnya ke telinga pria itu. Samar-samar aku mendengar Clarisa berbisik, “Jangan banyak tanya kalau enggak mau mengalami kecelakaan seperti mantan pacar gue!”
Setiba di ruang kunjungan Lapas, Clarisa memberikan bolu kukus kesukaan Boni dan berkata, “Semoga ini bisa mengobati kerinduan Lu.”
“Terima kasih, Nona,” ucap Boni dengan wajah datar. “Nona masih menyimpan gelang itu?”
“Aah, iya,” jawab Clarisa mengulum senyum sambil mengelus permukaanku. “Lu sabar nunggu delapan tahun lagi, ya! Pas Lu bebas, gue udah sediain rumah mewah sama mobil sebagai tanda terima kasih.”
“Tidak perlu, Nona. Saya hanya ingin melindungi Nona. Melihat Nona sukses seperti sekarang saja saya sudah bahagia,” jawab pria yang pernah menghadiahkanku kepada Clarisa.
Ketika Boni memilihku enam tahun yang lalu, selama itu pula aku telah menyimpan banyak rahasia tentang mereka berdua.
Indramayu, 3 Agustus 2021
Penulis : Nita Yunsa
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day19
#TemaAkuSebagaiBenda
Editor : Ruvianty